Selasa, 19 Oktober 2010

Bab 2 Riba

A. PENGERTIAN RIBA

1. Pengertian secara bahasa :

a. الزيادة (bertambah) yaitu meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan

b. النام (berkembang/berbunga) yaitu membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan

kepada orang lain

c. Berlebihan atau menggelembung

2. Pengertian secara istilah :

a. Menurut Ulama Hanabilah : “Pertambahan sesuatu yang dikhususkan”.

b. Menurut Ulama Hanafiyah : “Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta”.

c. Menurut al-Mali : “Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.

d. Menurut Abdurrahman al-Jaiziri : “Akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya”.

e. Menurut Syaikh Muhammad Abduh : “Penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan”.

Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.

B. DASAR HUKUM

1. Al-Qur’an

- Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)

Ibnu Katsir rh berkata, “Allah Swt menyebutkan perihal orang-orang yang memakan riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil serta melakukan usaha syubhat. Melalui ayat ini Allah Swt memberitakan keadaan mereka kelak saat mereka dibangkitkan dari kuburnya, lalu berdiri menuju tempat dihimpunnya semua makhluk.

Untuk itu Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.

Dengan kata lain, tidak sekali-kali mereka bangkit dari kuburnya pada hari kiamat nanti melainkan seperti orang gila yang terbangun pada saat mendapat tekanan penyakit dan setan merasukinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi mereka sangat buruk”. (Tafsir Ibnu Katsir)

Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa orang yang memakan riba (melakukan riba) dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan tercekik.

Ibnu Katsir rh mengatakan bahwa sesungguhnya mereka menghalalkan hal tersebut tiada lain karena mereka menentang hukum-hukum Allah dalam syariatnya, dan hal ini bukanlah analogi mereka yang menyamakan riba dengan jual beli, karena orang-orang musyrik tidak mengakui kaidah jual beli yang disyariatkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an.

Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum syara’ yakni menyamakan yang halal dan yang haram.

Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum.

Firman Allah Swt, “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”.

Ibnu Katsir rh berkata bahwa barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan Allah terhadap riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita itu kepadanya, maka masih diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan sebelum ada larangan.

Riba itu bisa menghapus pahala jihad. Ummu Bahnah (ibu dari Zaid ibnu Arqam) pernah berkata kepada Siti Aisyah ra, istri Nabi Saw, “Hai Ummul Mu’minin, kenalkah engkau dengan Zaid ibnu Arqam?”. Siti Aisyah ra menjawab, “Ya”. Ia berkata, “Sesungguhnya aku menjual seorang budak kepadanya seharga 800 secara ‘ata. Lalu ia memerlukan dana, maka aku kembali membeli budak itu dengan harga 600 sebelum tiba masa pelunasannya”.

Siti Aisyah ra menjawab, “Seburuk-buruk jual beli adalah apa yang kamu lakukan, alangkah buruknya jual beli kamu. Sampaikanlah kepada Zaid bahwa semua jihadnya bersama Rasulullah Saw akan dihapuskan dan benar-benar akan dihapuskan (pahalanya) jika tidak mau bertaubat”. (HR Ibnu Abi Hatim) (Tafsir Ibnu Katsir)

Firman Allah Swt, “Orang yang kembali mengambil riba)” yakni kembali melakukan riba sesudah sampai kepadanya larangan Allah, berarti ia pasti terkena hukuman dan hujjah mengenainya. Karena itulah firman Allah Swt selanjutnya, “maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.

Bab “riba” merupakan bab paling sulit menurut kebanyakan ahli ilmu agama. Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab ra pernah berkata, “Seandainya saja Rasulullah Saw memberikan suatu keterangan yang memuaskan kepada kami tentang masalah jad (kakek) dan kalalah serta beberapa bab yang menyangkut masalah riba.

Maksudnya adalah beberapa masalah yang di dalamnya terdapat campuran masalah riba. Hukum syariat dengan tegas menyatakan bahwa semua sarana yang menjurus ke arah hal yang diharamkan hukumnya sama haramnya karena semua sarana yang membantu ke arah hal yang diharamkan hukumnya haram. Sebagaimana hal yang menjadi kesempurnaan bagi perkara yang wajib, hukumnya wajib pula.

Ibnu Abbas ra berkata, “Wahyu yang paling akhir diturunkan kepada Rasulullah Saw adalah ayat mengenai riba”. (Riwayat Bukhari)

- Allah Swt berfirman, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[177]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178]”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 276)

[177]. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipatgandakan berkahnya.

[178]. Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.

Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah menghapuskan riba dan melenyapkannya. Hal ini terjadi dengan cara melenyapkan riba secara keseluruhan dari tangan pelakunya atau dicabut berkah hartanya sehingga ia tidak dapat memanfaatkannya melainkan menghilangkannya di dunia dan di akhirat kelak Dia akan menyiksanya.

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya riba itu sekalipun (hasilnya) banyak tetapi akibatnya akan menyusut”. (HR Ahmad)

Umar bin Khatthab ra ketika menjabat sebagai Amirul Mu’minin keluar menuju masjid, lalu beliau melihat makanan yang digelar. Maka ia bertanya, “Makanan apakah ini?”. Mereka menjawab, “Makanan yang didatangkan buat kami”. Umar berkata, “Semoga Allah memberkati makanan ini, juga orang yang mendatangkannya”.

Ketika dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya si pengirim makanan ini telah menimbun makanan kaum muslimin, Umar bertanya, “Siapa pelakunya?”. Mereka menjawab bahwa yang melakukannya adalah Farukh maula Usman dan si Fulan maula Umar.

Maka Khalifah Umar memanggil keduanya, lalu Umar bertanya kepada keduanya, “Apakah yang mendorong kamu berdua menimbun makanan kaum muslim?”. Keduanya menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, kami membelinya dengan harta kami dan menjualnya”.

Umar berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum muslim, niscaya Allah akan menghukumnya dengan kepailitan atau penyakit kusta”.

Maka Farukh berkata saat itu juga, Aku berjanji kepada Allah, juga kepadamu bahwa aku tidak akan mengulangi lagi menimbun makanan untuk selama-lamanya”. Adapun maula (bekas budak) Umar, ia berkata, “Sesungguhnya kami membeli dan menjual dengan harta kami sendiri”. Abu Yahya berkata, “Sesungguhnya aku melihat maula Umar terkena penyakit kusta”. (Riwayat Imam Ahmad) (Tafsir Ibnu Katsir)

“Dan menyuburkan sedekah”, Ibnu Katsir rh berkata bahwa ayat ini dapat dibaca yurbi berasal dari rabasy syai-a, yarbu arbahu yurbihi artinya memperbanyak dan mengembangkan serta menumbuhkan.

Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” yakni Allah tidak menyukai orang yang hatinya banyak ingkar lagi ucapan dan perbuatannya banyak berdosa.

Orang yang melakukan riba itu pada hakikatnya tidak rela dengan rezeki halal yang dibagikan oleh Allah untuknya. Ia kurang puas dengan dengan apa yang disyariatkan oleh Allah untuknya yaitu usaha yang halal.

Untuk itu ia berusaha dengan cara memakan harta orang lain secara batil melalui berbagai usaha yang jahat. Ia adalah orang yang ingkar kepada nikmat yang diperolehnya, lagi suka aniaya dengan memakan harta orang lain secara batil.

- Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 278-279)

Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt berfirman seraya memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar bertakwa kepada-Nya dan melarang mereka melakukan hal-hal yang mendekatkan mereka kepada kemurkaan-Nya dan hal-hal yang menjauhkan diri mereka dari rida-Nya.

Untuk itu Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah” yakni takutlah kalian kepada-Nya dan ingatlah selalu bahwa kalian selalu berada di dalam pengawasan-Nya dalam semua perbuatan kalian.

“Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)” yakni tinggalkanlah harta kalian yang ada di tangan orang lain berupa lebihan dari pokoknya sesudah adanya peringatan ini. “Jika kalian orang-orang beriman” yaitu jika kalian beriman kepada apa yang disyariatkan oleh Allah buat kalian yaitu penghalalan jual beli dan pengharaman riba. (Tafsir Ibnu Katsir)

“Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian” yakni barangsiapa yang masih tetap menjalankan riba dan tidak mau menanggalkannya maka sudah merupakan kewajiban bagi Imam kaum muslimin untuk memerintahkan bertaubat kepadanya. Jika ia mau bertaubat maka bebaslah ia tetapi jika masih tetap maka lehernya dipancung. (Tafsir Ibnu Katsir)

Al-Hasan dan Ibnu Sirin, keduanya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya rentenir-rentenir (bankir-bankir) itu benar-benar orang-orang yang memakan riba. Sesungguhnya mereka telah memaklumatkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya.

Seandainya orang-orang dipimpin oleh seorang imam yang adil niscaya imam diwajibkan memerintahkan mereka untuk bertaubat. Jka mereka mau bertaubat maka bebaslah mereka tetapi jika mereka tetap melakukan riba maka dimaklumatkan perang terhadap mereka”. (Riwayat Ibnu Abu Hatim) (Tafsir Ibnu Katsir)

Qatadah rh berkata bahwa Allah mengancam mereka untuk berperang seperti yang telah mereka dengar, dan Allah menjadikan mereka boleh diperangi di manapun mereka berada. Maka jangan sekali-kali melakukan transaksi riba karena sesungguhnya Allah telah meluaskan usaha yang halal dan menilainya baik. Karena itu janganlah sekali-kali kalian menyimpang dan berbuat durhaka kepada Allah Swt karena takut jatuh miskin (Riwayat Ibnu Abi Hatim) (Tafsir Ibnu Katsir)

Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” maksudnya kalian tidak menganiaya orang lain karena mengambil riba darinya dan tidak pula dianiaya karena harta pokok kalian dikembalikan tanpa ada tambahan atau pengurangan melainkan sesuai apa adanya. (Tafsir Ibnu Katsir)

- Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. Ali Imran 3 : 130)

[228]. Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.

Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memberlakukan riba dan memakan riba yang berlipat ganda. Allah Swt juga memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bertakwa supaya mereka menjadi orang-orang yang beruntung dalam kehidupan dunia dan akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir)

- Allah Swt berfirman, “dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil”. (Q.S. An-Nisa 4 : 161)

Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt telah melarang mereka (yahudi) melarang melakukan riba tetapi mereka menjalankannya dan menjadikanya sebagai pekerjaan mereka, lalu mereka melakukan berbagai macam pengelabuan untuk menutupinya dan mereka memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. (Tafsir Ibnu Katsir)

Allah Swt berfirman, “Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi[206]. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui”. (Q.S. Ali 'Imran 3 : 75)

[206]. Yang mereka maksud dengan orang-orang ummi dalam ayat ini adalah orang Arab.

Ibnu Katsir rh berkata tentang Q.S. Ali Imran 75 bahwa Allah Swt memberitakan perihal orang-orang Yahudi bahwa di antara mereka ada orang-orang yang khianat, dan Allah Swt memperingatkan kaum mukmin agar bersikap waspada terhadap mereka, jangan sampai terperdaya.

- Allah Swt berfirman, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. (Q.S. Ar-Rum 30 : 39)

2. As-Sunnah

Rasulullah Saw bersabda, “Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan”. Sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasulullah?”. Jawab Nabi, “ (1) Syirik (mempersekutukan Allah), (2) Berbuat sihir, (3) Membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali yang haq, (4) Makan harta riba, (5) Makan harta anak yatim, (6) Melarikan diri dari medan perang saat berjihad dan (7) Menuduh wanita mukminah yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zina”. (HR Bukhari)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah Saw telah melaknat pemakan riba, yang mewakili, saksinya dan penulisnya”. (HR Abu Dawud)

Rasulullah Saw bersabda, “Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut mengetahuinya, dosa perbuatan tersebut lebih berat daripada dosa enam puluh kali zina”. (HR Ahmad)

Rasulullah Saw bersabda, “Riba memiliki enam puluh pintu dosa, dosa yang paling ringan dari riba ialah seperti dosa yang berzina dengan ibunya”. (HR Ibnu Jarir)

Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, dua saksinya, dua penulisnya, jika mereka tahu yang demikian, mereka dilaknat lidah Muhammad Saw pada hari kiamat”. (HR Nasa’i)

“Emas dengan emas sama berat sebanding dan perak dengan perak sama berat & sebanding”. (HR Ahmad)

3. Ijma’

Seluruh ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam Islam.

C. MACAM-MACAM RIBA

Jumhur ulama membagi riba dalam 2 bagian yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2 hal. 129)

1. Riba al-fadhl (riba pertukaran)

Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah “Tambahan zat harta pada akad jual beli yang diukur dan sejenis”.

Dengan kata lain, riba fadhl adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang diukur.

Oleh karena itu, jika melaksanakan akad sharf (penukaran) antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba. Larangannya adalah menukar atau menjual komoditi yang sama (terkait dengan 6 komoditi yaitu emas, perak, gandum, biji-bijian, garam dan kurma) dengan jumlah yang berbeda.

2. Riba nasi’ah

Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz 5 hal. 183)

Riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran atau barang yang dipertukarkan, diperjualbelikan atau diutangkan karena adanya tambahan waktu pembayaran atau penyerahan barang baik yang sejenis ataupun tidak.

D. HAL YANG MENIMBULKAN RIBA

1. Tidak sama nilainya

2. Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukurannya

3. Tidak tunai di majelis akad

E. CONTOH PRAKTEK RIBA

- Mukhabarah, juga dikenal dengan istilah muzara’ah : ialah menyewa lahan dengan bayaran sebagian dari apa yang dihasilkan dari lahan itu

- Muzabanah : ialah membeli buah kurma gemading yang ada di pohonnya dengan pembayaran berupa buah kurma yang telah dipetik (masak).

- Muhaqalah yaitu membeli biji-bijian yang masih hijau dengan biji-bijian yang telah masak (ijon).

Sesungguhnya ketiga hal di atas dan yang semisal dengannya diharamkan karena adanya persamaan yang tidak diketahui atau disebut juga mufadalah (ada kelebihan pada salah satu pihaknya).

- Segala sesuatu yang menjurus ke riba adalah haram dan semua sarana yang membantunya.

- Pertukaran uang yang tidak sama nilai intrinsiknya (misal 100 dinar emas indonesia dengan 100 dinar emas dubai tapi ketika ditimbang ada selisih 2 gram)—maka 2 gram tsb adalah riba karena tidak ada imbangannya (tidak tamasul/sama nilainya)

- Pinjaman uang dengan lebih (pinjam 10 dinar, dikembalikan ditambah 10% dari pokok pinjaman, jadi 11 dinar)—maka yang 10% dari pokok pinjaman tsb (1 dinar) adalah riba karena tidak ada imbangannya (tidak tamasul/sama nilainya)

- Pertukaran 1 liter beras ketan dengan 2 liter beras organik maka pertukaran tersebut adalah riba karena beras harus diktukar dengan yang sejenis dan tidak dilebihkan.Maka solusinya adalah beras ketannya dijual dulu kemudian uangnya dibelikan beras organik atau dikonversikan ke nilai uang hingga sama nilainya.

- Seseorang yang menukar 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun harganya sama, ukurannya berbeda.

F. PENDAPAT ULAMA FIQIH tentang ILLAT RIBA

Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada 7 barang yaitu emas, perak, gandum, sya’ir (biji-bijian), kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)

Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat :

- Imam Malik mengkhususkannya pada makanan pokok

- Menurut pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang

- Imam Syafi’i berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak serta makanan meskipun tidak ditimbang

Perbedaan antar madzhab lebih detail sbb :

1. Madzhab Maliki

Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.

Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak kedua unsur tersebut.

Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.

Alasan utama Malikiyah menetapkan illat di atas antara lain apabila riba dipahami agar tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni makanan pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.

2. Madzhab Hanafi

Illat riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang yang telah disebut di atas seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.

Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang seperti hewan, kayu dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya seperti menjual 1 ekor kambing dengan 2 ekor kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 185)

Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits shahih Said al-Khudri dan Ubadah ibn Shanit ra bahwa Nabi Saw bersabda, “emas dengan emas, keduanya sama (mitslan bi mitslin), tumpang terima (yadan bi yadin), (apabila ada) tambahan adalah riba, perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, sya’ir dengan sya’ir, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, kurma dengan kurma, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba”.

Di antara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu menipu di antara manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah Sadd Adz-Dzara’i (menurut pintu kemudharatan).

Namun demikian tidak semuanya berdasarkan sadd adz-dzara’i tetapi ada pula yang betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan (mitslan bi mitslin).

Ukuran riab fadhl pada makanan adalah ½ sha’ sebab menurut golongan ini, itulah yang telah ditetapkan syara’ (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 188). Oleh karena itu dibolehkan tambahan jika kurang dari ½ sha’.

Illat riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari 2 sifat yang ada pada riba fadhl dan pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang jahiliyah seperti seseorang membeli 2 kg gandum pada bulan Muharram dan akan dibayar menjadi 2,5 kg gandum pada bulan Safar.

3. Madzhab Syafi’i

Illat riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut dihargakan atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi 3 kriteria sbb :

a. Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok

b. Makanan yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering

c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.

Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli harus memenuhi kriteria :

a. Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang

b. Sama ukurannya

c. Tumpang terima

Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya seperti menjual gandum dengan jagung, dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima”.

Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.

4. Madzhab Hambali

Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.

Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia.

Hal ini sesuai dengan pedapat Saib bin Musayyib (Ibnu Qudamah, Al-Muhtaj, juz 4, hal. 3-5) yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum”. (HR Daruquthni)

G. RINGKASAN dari PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA

Perbedaan pendapat di kalangan ulama di atas menyebabkan adanya beberapa perbedaan lainnya sbb :

1. Berkaitan dengan Riba Fadhl

Ulama Hanafiyah membolehkan adanya tambahan pada makanan yang tidak ditimbang sebab tidak ada illat riba yaitu timbangan.

Menurut Ulama Syafi’iyah, hal itu tidak boleh sebab meskipun tidak ditimbang, tetap termasuk jenis makanan.

Sesuatu yang tidak termasuk makanan tetapi ditimbang dan diukur,menurut ulama Hanafiyah tidak boleh ada tambahan sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan karana bukan termasuk makanan.

2. Berkaitan dengan Jenis

Para ulama berbeda pendapat tentang jual beli yang berkaitan dengan jenis :

a. Jual beli tepung dengan sejenisnya

Seperti tepung gandum dengan tepung gandum, ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkannya sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah melarangnya.

b. Jual beli dengan hewan

Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf membolehkan jual beli daging yang dapat dimakan dengan hewan sejenisnya sebab sama dengan menjual sesuatu yang ditimbang dengan sesuatu yang tidak ditimbang.

Ulama Malikiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah melarangnya seperti menjual daging kambing dengan kambing sebab Rasulullah Saw sebagaimana hadits yang diriwayatkan Baihaqi, melarang jual beli sesuatu yang masih hidup dengan sesuatu yang sudah mati.

Perbedaan-perbedaan lainnya tentu saja masih banyak, baik yang berkaitan dengan riba fadhl maupun dengan riba nasi’ah.

H. DAMPAK RIBA

1. Kekayaan hanya berputar di segelintir orang saja

2. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin

3. Mustahik (penerima zakat) semakin meningkat dan muzakki (pembayarzakat) semakin menurun

4. Terjadinya over produksi

5. Monopoli

6. Penimbunan barang

7. Matinya sedekah

8. Pengurangan timbangan

9. Makanan semakin tidak berkualitas dan syubhat

10. Cara penawaran barang (iklan) dusta

11. Sumpah palsu

12. Kerusakan harga

13. Upah semakin turun

14. Harga barang terus naik

I. SEJARAH RIBA

Orang Yahudi mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalau dilakukan pada pihak lain. Hal inilah yang mendorong umat Yahudi memakan riba dari fihak lain dan menurut al-Qur'an, perbuatan semacam ini dikatakan sebagai hal memakan riba.

Menurut Muhammad Assad, dalam The Message of the Qur'an dinyatakan, bahwa setelah dibebaskan oleh Nabi Musa dari belenggu perbudakan Fir'aun, bangsa Yahudi mendapatkan berbagai kenikmatan hidup. Tetapi sesudah itu, terutama setelah masa Nabi Isa, bangsa Yahudi mengalami malapetaka dan kesengsaraan dalam sejarah mereka.

Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan praktek riba dan memakan harta manusia secara batil. Dalam kitab orang Yahudi sendiri (Taurat dan Zabur) telah dilarang praktek-praktek riba.

Allah Swt berfirman, “Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (An-Nisa`: 160-161)

Kamis, 07 Oktober 2010

Apa yang Membedakan Pasar Terbuka Berbasis Islam dengan Pasar yang Ada Sekarang?

Pasar Tradisonal/Pasar Modern

Pasar Islam

Keterangan

Pedagang tidak diwajibkan untuk memahami hukum riba dan fiqih dagang

Pedagang diwajibkan memahami hukum riba dan fiqih dagang

Khalifah Umar bin Khattab ra mengusir pedagang yang tidak memahami riba dan fiqih dagang dari pasar

Pasar tidak serupa dengan masjid

Pasar serupa dengan masjid, siapa yang datang lebih dulu maka bisa menempati posisi tempat yang diinginkan

Rasul SAW bersabda: pasar mengikuti sunnah masjid: siapa dapat tempat duluan berhak duduk sampai dia bediri dan kembali ke rumah atau menyelesaikan perdagangannya (Al Hindi, Kanz al Ummal, V 488 no 2688)

Ada kepemilikan pribadi

Pasar adalah sedekah bagi kaum muslimin, makanya pasar Islam dibangun di atas tanah wakaf

Ibrahim ibnu Mundhir al Hizami meriwayatkan dari Abdullah ibn Ja'far bahwa Muhamad ibn Abdullah ibn Hasan mengatakan, "Rasul SAW memberi kaum Muslimin pasar sebagai sedekah" (Saba K, Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 304)

Ada penarikan uang sewa

Tidak ada penarikan uang sewa

Ibnu Zabala meriwayatkan dari Khalid ibnu Ilyas al Adawi, "Surat Umar ibnu Abdul Azis dibacakan kepada kami di Madinah, yang menyatakan bahwa pasar adalah sedekah dan tidak boleh ada sewa (kira) kepada siapa pun". ( As-Samhudi, Wafa al Wafa,749)

Ada penarikan pajak

Tidak ada penarikan pajak

Ibrahim al Mundhir meriwayatkan dari Ishaq ibn Ja'far ibn Muhamad dari Abdullah ibn Ja'far ibn al Miswat, dari Syuraih ibn Abdullah ibn Abi Namir bahwa Ata ibn Yasar mengatakan, "Ketika Rasul SAW ingin membuat sebuah pasar di Madinah, beliau pergi ke pasar Bani Qainuqa dan kemudian mendatangi pasar Madinah, menjejakkan kaki ke tanah dan bersabda, 'Inilah pasar kalian. Jangan membiarkannya berkurang (la yudayyaq) dan jangan biarkan pajak apa pun (kharaj) dikenakan'" (Ibnu Saba K Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 304)

Ada pesan dan klaim tempat

Tidak ada pesan dan klaim tempat

Ibnu Zabala meriwayatkan dari Hatim ibn Ismail bahwa Habib mengatakan bahwa Umar Ibn Khattab (pernah) melewati Gerbang Ma'mar di pasar dan (melihat) sebuah kendi di dekat gerbang dan dia perintahkan untuk mengambilnya Umar melarang orang meletakkan batu pada tempat tertentu atau membuat klaim atasnya. (As-Samhudi, Wafa al Wafa,749)

Tidak adanya Muhtasib

Adanya Muhtasib yang bertugas mengawasi pasar agar tidak terjadi kegiatan muamalah yang melanggar syar’i seperti berdusta dan sumpah palsu dalam menawarkan dagangan, barang-barang haram, penipuan, penimbunan barang, manipulasi harga, pengurangan timbangan dan lain-lain

Khalifah Umar bin Khattab ra berkeliling sendiri di pasar-pasar untuk mengawasi transaksi di dalamnya.

Beliau membawa tongkatnya untuk meluruskan penyimpangan dan menghukum orang yang menyimpang (Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqat al-Kubra 5/43-44).

Umar juga menunjuk para pegawai untuk mengawasi pasar (Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab 4/341)


Perbedaan Fiat Money & Dinar Dirham

Fiat Money

Dinar Dirham

Keterangan

Nilai yang dilihat

Ekstrinsik

Intrinsik

Nilai Intrinsik adalah nilai uang yang dilihat dari berat dan kadar zatnya

Daya beli

Menurun

Stabil

Tahun 1975 harga 1 butir telor adalah Rp 10. Kemudian tahun 1985 naik menjadi Rp 100. Dan sekarang 2009 naik menjadi Rp 1000.

Harga Barang

Naik terus (Inflasi)

Tetap (stabil)

Sejak zaman Rasulullah Saw & Umar bin Khattab ra sampai sekarang harga 1 ekor kambing tetap 1 dinar dan harga 1 ekor ayam tetap 1 dirham

Keuntungan Pedagang

Terus turun

Tetap (stabil)

Dengan dinar dirham maka pedagang tidak akan dipusingkan dengan keuntungan yang terus menipis

Upah pekerja

Terus turun

Tetap (stabil)

Dengan upah pekerja yang stabil maka tidak akan pernah ada demo untuk kenaikkan gaji/upah





Penetapan Harga Barang dan Uang adalah Riba (edisi 22)

Kebanyakan umat Islam masih menganggap hanya bunga yang disebut riba. Padahal fiat money jauh lebih besar riba (berlipat-lipat tambahannya) daripada bunga rentenir. Ada 2 jenis riba lagi yang luput dari perhatian yaitu riba penetapan harga barang dan harga uang kertas (fiat money).

Sebelum membahas riba penetapan harga barang dan harga uang fiat money, sebaiknya kita mengetahui bagaimana transaksi pertukaran barang dalam Islam.

Dalam Islam ada 2 jenis transaksi yaitu :

  1. 1. Al-bai’ (jual beli)

Kalau barang yang ditukar berbeda disebutnya al-bai’ (jual beli). Maka harus dilakukan dengan antaradhin (saling ridha) antara penjual dan pembeli. Tidak boleh ada pemaksaan yang menyebabkan salah satu atau kedua belah pihak tidak ridha. Ketika harga ditetapkan dan dipaksakan manusia, tidak menyerahkannya kepada Allah Swt (sunnatullah) maka ini adalah riba karena bisa jadi harga barang harusnya lebih mahal atau lebih murah dari harga yang ditetapkan atau dipaksakan.

Islam mensyaratkan setiap transaksi bisnis harus berdasarkan kerelaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) yang terlibat. Jual beli tidak sah dengan ketidakrelaan salah satu atau kedua belah pihak. Oleh karena itu Islam memperbolehkan adanya tawar menawar dan khiyar (pembatalan transaksi) dengan syarat-syarat tertentu.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S. An-Nisaa [4]: 29)

Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini, “Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil yakni melalui usaha yang melanggar syariat.

Maksud ayat, “kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” yakni janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan tetapi berniagalah menurut aturan syariat yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka (antaradhin) di antara pihak pembeli dan penjual. Dan carilah keuntungan yang diakui oleh syariat. (Tafsir Ibnu Katsir)

Rasulullah Shallallaahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Innamal bai’u ‘antaradhin(Sesungguhnya jual beli itu dengan kerelaan)”. (HR Ibnu Majah)

  1. 2. Sharf (tukar menukar)

Kalau barang yang ditukar sama disebutnya sharf (pertukaran). Maka harus dilakukan dengan matslan bi mitslin yaitu sama dan sebanding baik dari kadar zat maupun beratnya, tidak boleh antaradhin. Tidak boleh ada pemaksaan yang menyebabkan pertukaran menjadi tidak matslan bi mitslin sama dan serupa.

Dalam sharf yang dilihat matslan bi mitslin itu bukan gambar atau angka yang tertera di barang tapi dilihat dari kadar zatnya apa dan beratnya berapa. Bagaimana bisa dengan kertas atau logam yang sama dan serupa tapi mempunyai nilai yang berbeda-beda? Di sinilah letak ribanya.

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama timbangannya dan sama sebanding, dan perak dengan perak yang sama timbangannya dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka itu riba.” (HR Muslim)

Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak.” (Muttafaq Alaih)

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Satu dinar ditukar dengan satu dinar, dan satu dirham ditukar dengan satu dirham, tidak ada lebih diantara keduanya”. (HR Ahmad)

Dua Jenis riba yang biasa kita lakukan sehari-hari :

  1. 1. Penetapan harga barang

Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah terjadi kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah,harga barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga bagi kami”. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allahlah penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan pemberi rizki. Dan aku berharap menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang menuntutku karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda". (Hadits Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban)

Lihat sekarang, terjadi penetapan harga gabah, pupuk, TDL (tarif dasar listrik), gas, minyak dan air. Semua harganya sudah ditentukan oleh manusia bukan berdasarkansunnatullah. Ada juga teori lain dalam ekonomi ribawi bahwa harga itu ditentukan oleh pasar melalui supply (penawaran) dan demand (permintaan), padahal supply dan demandini bisa dipermainkan (dengan hawa nafsu) oleh sekelompok orang (kartel/monopoli) untuk memainkan harga.

Kalaupun harga dinaikkan maka pembeli tidak ada pilihan lain dan kecenderungannya memang harganya semakin dinaikkan dengan alasan inflasi (buatan). Apakah pembeli ridha dengan membayar harga yang telah ditetapkan? Apakah terjadi antaradhin (saling ridha) antara penjual dan pembeli? Kalau tidak ada keridhaan dalam jual beli tersebut, siapa yang menanggung dosanya?

Dalam Islam harga itu jelas ditentukan oleh Allah Swt sebagaimana hadits di atas. Harga dilihat berdasarkan hasil (panen/kebun/ternak/tambang dan lain-lain) dikurangi biaya operasional. Ketika dengan izin Allah hasilnya lebih banyak (misal karena cuaca baik) maka harga akan lebih murah dan ketika hasilnya lebih sedikit (misal karena cuaca buruk) maka harganya akan lebih mahal karena biaya operasional relatif stabil (berdasarkan dinar & dirham).

  1. 2. Penetapan harga uang fiat money

Siapa yang menentukan nilai dari dollar amerika ke dolar singapur, dari euro ke poundsterling, dari rp ke ringgit dan sebagainya? Kalau dengan teori ekonomi ribawi jawabannya adalah karena supply dan demand.

Apakah supply dan demand ini bisa dibuat oleh segelintir orang (kartel/monopoli) sehingga bisa mengatur harga sesuai keinginan mereka? Dan kartel inipun bukan hanya terjadi di pasar uang tapi terjadi juga di pasar saham.

Dan yang paling aneh adalah bagaimana bisa saya punya nilai 10.000, terus dibawa ke amerika, nilainya berubah drastis turun jadi 1. Sebaliknya kalau orang amerika bawa nilai 1, begitu masuk ke kita nilainya berubah drastis naik menjadi 10.000. Bagaimana bisa dengan kertas yang sama dan serupa tapi nilainya berbeda 10.000 kali lipat?

Ditambah lagi ribanya dengan adanya harga jual dan harga beli tiap-tiap uang fiat money dari satu mata uang terhadap mata uang lainnya. Ribanya sudah tumpang tindih. Inilah kezaliman yang diciptakan sistem dajjal.

Berbeda dengan dinar emas dan dirham perak, kalau kita punya 1 dinar, maka ketika dibawa ke amerika tetap 1 dinar. Begitupun sebaliknya, kalau orang amerika punya 1 dinar kemudian dibawa kesini maka nilainya tetap 1 dinar, tidak ada yang dizalimi (dirugikan). Inilah syariat yang adil.

Kewara’an Seorang Ulama Tabi’in Muhammad bin Sirin (Ibnu Sirin) dalam Memastikan Keridhaan Berjual Beli

Dari Maimun bin Mihran, dia berkata, “Aku datang ke Kufah untuk membeli sebuah pakaian, kemudian aku menemui Ibnu Sirin di Kufah, lalu aku menawar barang dagangannya, dan setelah tercapai kesepakatan harga sebuah pakaian, dia berkata, “Apakah anda ridha?, aku berkata, “Ya, aku ridha”.

Dia pun mengulang pertanyaan itu 3 kali, lalu dia mengundang 2 orang untuk memberikan kesaksian transaksi kami. Sejak saat itu setelah aku melihat kewara’annya itu, setiap aku membutuhkan sesuatu dan terdapat di tokonya maka aku pasti membelinya hingga kain-kainnya juga aku beli”. (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/620)

Apa Tujuan Syariat Islam Diciptakan?

Maqasid syariah (tujuan syariah) yaitu menjaga jiwa, din, harta, akal dan kehormatan. Dalam kitab al-Muwafaqat fi ushul as-Syariah, Imam Syatibi, ahli fiqih Malikiyah dari Andalusia abad ke-8 Hijriyah, membahas konsep maqasid syariah secara sistematis dan mendetail.

Beliau menjelaskan bahwa syariah diturunkan kepada manusia semata-mata untuk kesejahteraan mereka. Ia berisi kaidah-kaidah umum tentang kehidupan manusia, peraturan dan batas-batas yang semua manusia wajib mentaatinya dan melaksanakannya agar kehidupan mereka teratur, tertib dan aman.

Orang yang menjalankan syariah Islam adalah orang yang paling bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya, baik yang kecil maupun yang besar, mengandung maslahahbagi manusia itu sendiri, walau dia tidak menyadarinya.

Sebaliknya, yang keluar dan tidak mentaati aturan–aturan di dalamnya, akan terikat dan terbeleggu dengan nafsunya, yang walau kelihatannya enak dan menyenangkan tetapi pada hakekatnya adalah kerugian dan madharat.

Aturan Islam itu Sempurna karena Berdasarkan Wahyu, Bukan Berdasarkan Dugaan dan Hawa Nafsu

Allah Swt berfirman, “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al An'aam 6 : 115)

Para ulama berkata, “Shidqun fil akhbar wa adlun fil ahkam (beritanya benar dan hukumnya adil)”. Qatadah rh berkata tentang maksud “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil” adalah “benar dalam ucapan-Nya dan adil dalam semua keputusan-Nya, selalu benar dalam pemberitaan dan adil dalam tuntutan.

Setiap yang diberitakan oleh-Nya adalah benar, tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Semua yang diperintahkan oleh-Nya adalah hal yang adil, tiada keadilan selain keadilan-Nya. Dan setiap apa yang dilarang-Nya adalah batil, karena sesungguhnya tidak sekali-kali Dia melarang melainkan karena adanya mafsadat (kerusakan) pada yang dilarang-Nya itu.

Kesimpulan

Kalau ingin menghindari riba maka tidak boleh ada penetapan atau pemaksaan harga pasti apalagi membuat kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menjadi saling tidak ridha sehingga transaksi menjadi tidak sah.

Dan berikutnya adalah kembali kepada dinar emas dan dirham perak untuk menilai suatu barang dan menjadi alat barter (alat tukar) yang adil, baik untuk sharf maupun jual beli sehingga tidak ada yang dizalimi.