Rasulullah Saw bersabda, “Kelak akan datang kepada manusia suatu zaman yang didalamnya mereka memakan riba. Ketika beliau Saw ditanya, ‘Apakah semua orang (melakukannya)?’. Maka beliau Saw menjawab, ‘Barangsiapa yang tidak memakannya dari kalangan mereka maka ia tetap terkena getahnya’.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i & Ibnu Majah)
Riba secara bahasa, maknanya adalah bertambah. Riba secara istilah adalah adanya penambahan nilai atau penambahan waktu dalam transaksi. Ada 3 hal yang biasa kita lakukan sehari-hari yaitu :
1. Menjadikan uang kartal/fiat money sebagai standar nilai (illah) untuk semua barang
Imam Syafi’i rh dalam kitabnya al-Umm menjelaskan bahwa fulus (uang receh di bawah dirham, biasanya terbuat dari tembaga/perunggu) tidak bisa dijadikan illah (standar nilai) karena bukan harta ribawi (tidak ditakar dan tidak ditimbang). Uang kartal (fiat money) ini sama dengan fulus yaitu tidak dilihat kadar dan beratnya tapi dilihat gambar dan angkanya. Meskipun fulus dulu (tembaga) lebih berharga daripada fulus sekarang (kertas).
Fulus dahulu dibuat atas desakan kaum Yahudi di Syam pada zaman khalifah Umar bin Khattab ra karena kebakhilan dan keserakahan mereka hingga barang-barang remeh pun ingin dinilai, tidak disedekahkan sehingga mempersulit sedekah. Fulus dijadikan pintu masuk oleh orang-orang yahudi untuk menyuburkan riba dan mempersulit sedekah (mengingkari perintah Allah Swt).
Fulus digunakan untuk barang-barang remeh. Fulus yang dianggap remeh dahulu, sekarang malah dianggap berharga. Kaum muslimin sesungguhnya tidak memerlukan fulus sama sekali, Ulama Salaf membatasi penggunaan fulus untuk menegakkan muamalah, dari segala transaksi hanya sedekah biasa saja yang boleh menggunakan fulus - itupun derajatnya lebih rendah dari sedekah berupa senyuman seorang muslim.
Imam Malik rh berkata, "Tidak ada bedanya sedekah 1 dinar emas dengan sedekah 1 daniq perak, yang membedakan adalah keikhlasan dari niat si pelaku amal." Hal ini menunjukkan ketidaksukaan umum kaum Muslimin generasi awal terhadap fulus.
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa yang bisa dijadikan standar nilai adalah dinar emas dan dirham perak karena dilihat qirat (kadar zat) dan wazan (takaran/timbangan)-nya. Dinar dengan kadar emas 24 karat dan berat 4,44 gram. Dirham dengan kadar perak murni dan berat 3,11 gram. Sedangkan untuk pecahan terkecil adalah daniq (1/6 dirham) yaitu perak murni dengan berat 0,52 gram.
2. Sharf (penukaran) uang kartal antara pecahan besar dan pecahan kecil
Dalam akad sharf, barang yang ditukar harus matslan bi mitslin (serupa/sama) kadar zat dan takaran/timbangannya. Dalam penukaran uang kartal menyalahi hal ini karena yang dilihat bukan qirat (kadar zat/kertas) dan wazan (takaran/timbangan per kertas) tapi gambar dan angkanya.
Satu kertas ditukar dengan 2 atau 5 atau 10 atau 20 atau 50 kertas bahkan lebih, yang kadar zatnya sama (kertas) tetapi wazan (takaran/timbangan)-nya berbeda. Hal ini masuk ke dalam riba fadhl. Jangan melihat gambar dan angkanya tapi lihat qirat (kadar) dan wazan (berat)-nya!
Rasulullah Saw bersabda, “Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, serupa dan sama (takaran dan timbangannya) dan dibayar kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba”. (HR. Muslim)
Riba fadhl secara bahasa artinya kelebihan. Secara istilah yaitu adanya penambahan pada salah satu materi riba yang dibarter dengan sesama jenis dalam satu waktu (kontan). Contoh 20 gram emas ditukar dengan 15 gram emas maka yang 5 gram merupakan riba.
3. Berjual beli dengan menggunakan uang kartal
Rasulullah Saw. “Dilarang (tidak boleh) salaf bersama jual beli”. (HR Abu Dawud, TIrmidzi, An-Nasa’i, & Ibnu Majah, dihasankan oleh Al-Albani)
Yang dimaksud salaf ialah piutang. Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas ra bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan) sehingga bila pemberi piutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad piutang telah keluar dari tujuan utamanya”. (Imam Asy-Syairazi asy-Syafi’i, Al-Muhadzdzab 1/304)
Memang zaman khilafah Islamiyah dulu ada suftaja atau warkat (semacam kuitansi titipan dinar dan dirham). Suftaja ialah semacam surat kuasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain sehingga dengan surat kuasa tersebut pemegang surat kuasa dapat mencairkan dinar dirhamnya di tempat (kota) lain dari perwakilan pihak yang mengeluarkan surat tersebut. (Al-Fayyumi, Al-Mishbah al-Munir 1/278 dan Al-Fairuz, al-Qamus al-Muhith 1/301)
Setelah suftaja ini diserahkan ke tempat pengambilan titipan untuk diambil dinar dirhamnya, baru kemudian dipakai transaksi jual beli. Jadi suftaja-nya sendiri tidak dijadikan alat bayar. Suftaja yang ada koin dinar dirhamnya saja tidak boleh dijadikan alat bayar, apalagi kuitansi mimpi yang tidak ada koin dinar dirhamnya!
Ancaman Allah Swt dan Rasul-Nya terhadap Pelaku Riba
1. Terkena penyakit gila
Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah 2 : 275)
2. Dilaknat oleh Rasulullah saw
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598)
3. Dosa riba yang paling rendah seperti menzinahi ibu kandung sendiri
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (HR Thabrani, dishahihkan oleh al-Albani)
4. Satu dirham dari riba, dosanya lebih berat dari 36 pelacur
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang diperoleh dari riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230)
5. Akhirnya akan jatuh miskin
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279)
6. Diperangi Allah dan Rasul-Nya
Allah Swt berfirman, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu”. (Q.S. Al Baqarah 2 : 279)
7. Kalau tetap melakukan riba bisa dianggap murtad
Allah Swt berfirman, “Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. Al Baqarah 2 : 275)
Syaikh Utsaimin rh berkata, “Keharaman riba telah disepakati oleh para ulama, oleh karena itu barangsiapa yang mengingkari keharamannya, sedangkan ia tinggal di masyarakat muslim berarti ia telah murtad (keluar dari Islam) karena riba termasuk hal-hal haram yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang serta telah disepakati”. (Asy-Syarhul Mumti’ 8/387)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar