Sabtu, 02 Oktober 2010

Bab 6 Wadi’ah (Titipan)


A. PENGERTIAN

Akar kata dari Wadiah adalah wada’a yang artinya menitipkan sesuatu kepada seseorang. Akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang tersebut.

1. Secara bahasa

Ada 2 makna :

a. Ma wudi’a ‘inda ghair malikihi layahfadzahu : Sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya, berarti bahwa al-wadi’ah ialah memberikan.

b. Qabiltu minhu dzalika al-mal liyakuna wadi’ah ‘indi : seperti seseorang berkata “auda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya.

Maka secara bahasa al-wadi’ah memiliki 2 makna yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya (I’tha’u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi). (Al-Fiqh ‘ala mazahib al-‘arabah, Abdurrahman al-jazairi, 1417 H, hal. 248)

2. Secara istilah (fiqih)

a. Menurut Syafi’iyah : Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.

b. Menurut Hanabilah : Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabarru)

Maka secara istilah al’wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana mestinya maka penerima titipan tidak wajib menggantinya tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka ia wajib menggantinya.

B. LANDASAN SYARIAH

Para ulama sepakat bahwa wadi’ah adalah salah satu akad dalam rangka tolong-menolong antara sesama manusia. Dasar-dasar hukum wadia’ah yaitu :

1. Al-Qur’an

Al-Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik memintanya kembali.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Qs. An-Nisa 4:58)

Allah Swt berfirman, “…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya…” (Qs. Al Baqarah 2:283)

2. As-Sunnah

Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi menurut hadist ini hasan sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shahih).

3. Ijma

Ibnu Qudamah rh menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah Saw sampai generasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang mengingkarinya.

Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma (konsensus) akan legitimasi al-Wadiah, karena kebutuhan manusia terhadapnya hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip Dr. Wehbah Azzuhaily dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir Li Ibn Qudamah dan al-Mabsuth Imam Sarakshsy.

C. RUKUN-RUKUN WADI’AH

Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun wadi’ah ada 3 :

1. Orang yang berakad, yaitu terdiri dari :

a. Pemilik barang/penitip (Muwaddi’)

b. Pihak yang menyimpan/dititipi (Mustauda’)

2. Barang/uang yang disimpan (Wadi’ah)

3. Ijab qobul/kata sepakat (Sighat)

D. SYARAT-SYARAT WADI’AH

1. Orang yang berakad harus :

- Baligh

- Berakal

- Cerdas (‘alim)

2. Barang titipan

- Jelas (dapat diketahui jenis atau identitasnya)

- Dapat dipegang

- Dapat dikuasai untuk dipelihara

E. SIFAT AKAD WADI’AH

Para ulama sepakat bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetapi apakah tanggung jawab memelihara barang itu bersifat amanat atau dhamaan (ganti rugi)?

Para ulama sepakat bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga kerusakan penitipan tidak menjadi tanggung jawab mustawda’ (pihak yang dititipi). Amanat berubah menjadi dhamaan kalau kerusakan itu terjadi karena kesengajaan.

Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya.

Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin”. (HR Daruquthni)

Rasulullah Saw bersabda, “TIdak ada kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat”. (HR Baihaqi)

Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas mustawda’ (pihak yang dititipi) maka akad itu tidak sah. Kemudian mustawda’ harus menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari muwaddi’ (pemilik barang/penitip).

E. HUKUM MENERIMA BENDA TITIPAN

Hukum menerima benda-benda titipan ada 4 macam yaitu :

1. Sunat

Disunnatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. Al-Wadi’ah adalah salah satu bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, tolong menolong secara umum hukumnya sunnat.

Hal ini dianggap sunnat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan.

2. Wajib

Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.

3. Haram

Apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan sebab dengan menerima benda titipan berarti memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.

4. Makruh

Bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan tetapi ia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya.

(Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid, 1976, hal. 315)

F. JENIS-JENIS WADIAH

1. Wadiah yadh amanah

yaitu titipan murni, yang artinya orang yang diminta untuk menjaga barang titipan tersebut diberikan amanah atau kepercayaan untuk menjaga barang tersebut dari segala hal yang dapat merusaknya.

Akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.

Tangan yang amanah; Titipan murni tanpa ganti rugi; Termasuk bagian dari wadi’ah (titipan). Dengan konsep wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.

Pada saatnya barang titipan tersebut diminta kembali oleh pemiliknya, yang menjaga barang titipan tersebut harus mengembalikannya dalam keadaan utuh seperti sediakala. Barang titipan tersebut tidak boleh digunakan atau dipindahkan kepada pihak lain oleh penjaganya untuk mendapatkan keuntungan.

Ketentuan pokok pada operasional wadi’ah yad al-amanah :

(i) Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan;

(ii) Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya;

(iii) Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan.

2. Wadiah yadh dhamanah

Akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.

Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan.

Tangan yang menanggung; Titipan dengan resiko ganti rugi. Sebagai konsekuensi dari yad ad-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut milik mustawda’ (demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian).

Titipan dengan garansi, yang artinya mustawda’ (orang yang mendapat titipan barang/uang tersebut) dapat menggunakan atau memanfaatkannya sebagai modal untuk mendapat keuntungan, sepanjang barang/uang tersebut dapat dipastikan (garansi) akan dikembalikan kepada pemiliknya dalam keadaan utuh.

Dimana mustauda’ dapat memanfaatkan dana dari muwaddi’ untuk dikelola dan mustawda’ dapat menjamin dana tersebut kembali pada muwaddi’ dalam keadaan utuh atau tidak berkurang sepeserpun.

Apabila mustauda’ mendapatkan keuntungan dan ingin membagikan kepada muwaddi’, mustauda’ bisa memberikannya sebagian keuntungannya itu sebagai hibah (hadiah) kepada muwaddi’, dengan catatan, pembagian keuntungan tersebut tidak diperjanjikan di muka atau sebelum mustauda’ memanfaatkan dana muwaddi’ tersebut.

Ketentuan pokok dalam operasional wadi’ah yad ad-dhamanah:

(i) Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan;

(ii) Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat,

G. RUSAK DAN HILANGNYA BENDA TITIPAN

Jika mustauda’ (orang yang menerima titipan) mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai sumpah supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum.

Namun Ibnu Munzir rh berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.

Menurut Ibnu Taimiyah rh, apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka mustauda’ tersebut wajib menggantinya.

Pendapat Ibnu Taimiyah rh ini berdasarkan pada atsar bahwa Umar ra pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik ra ketika barang titipannya yang ada pada Anas bin Malik ra dinyatakan hilang, sedangkan harta Anas ra masih ada.

Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan dan benda-benda titipan tersebut tidak ditemukan maka ini menjadi hutang bagi penerima titipan dan wajib dibayar oleh ahli warisnya.

Bila seseorang menerima benda-benda titipan sudah sangat lama waktunya sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemiliknya benda-benda tersebut dan sudah berusaha mencarinya namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas maka benda-benda tersebut dapat digunakan untuk kepentingan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar