A. PENGERTIAN
1. Menurut bahasa (etimologi)
Ijarah adalah المنفعة بيع (menjual manfaat).
2. Menurut syara’ (terminologi)
a. Ulama Hanafiyah :
‘aqdun ‘alal manaafi’i bi ‘audhin, artinya “akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”.
(Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 174)
b. Ulama Syafi’iyah :
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”.
(Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 332)
c. Ulama Malikiyah (Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4, hal. 2) dan Hanabilah (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 398):
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa menyewa dan upah mengupah.
Sewa menyewa adalah المنفعة بيع (menjual manfaat) dan upah mengupah adalah بيع القو ه (menjual tenaga atau kekuatan).
Sewa digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat tinggal”. Sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja di toko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah.
B. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman,
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Q.S. Az Zukhruf 43 : 32)
Allah Swt berfirman,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Jika mereka telah menyusukan anakmu maka berilah upah mereka”. (Q.S. Ath-Thalaq 65 : 6)
Allah Swt berfirman,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Q.S. Al-Qashash 28 : 26)
2. As-Sunnah
Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah Saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah Saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada orang yang membekamnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang meminta menjadi buruh (pekerja), beritahukanlah upahnya”. (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
3. Ijma
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam.
C. RUKUN
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul antara lain dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’ dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu :
1. ‘Aqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa sesuatu atau menerima upah)
2. Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir
3. Ujrah (upah)
4. Ma’qud ‘alaih (Manfaat/barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)
D. SYARAT
Syarat ijarah adalah sebagai berikut :
1. Mu’jir dan musta’jir
Menurut ulama Hanafiyah, aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (sudah bisa membedakan antara haq dan bathil/minimal 7 tahun), tidak disyaratkan harus baligh.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian akad mumayyiz adalah sah tetapi harus ada keridhaan walinya. (Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4, hal. 3)
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan aqid harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dikategorikan ahli akad. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 332)
Syarat yang lain adalah cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan adanya keridhaan dari kedua belah pihak (aqid) karena ijarah dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syura’i, Juz 4, hal. 179)
Allah Swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 29)
Bagi aqid juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2. Shighat ijab kabul
Shighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir. Ijab kabul sewa menyewa atau upah mengupah. Ijab kabul sewa menyewa misalnya mu’jir berkata, “Aku sewakan motor ini kepadamu 1 dirham per hari” maka musta’jir menjawab, “Aku terima sewa motor tersebut dengan harga 1 dirham per hari”.
Ijab kabul upah mengupah misalnya mu’jir berkata, “Kuserahkan kebun ini untuk dicangkuli dengan upah 1 dirham per hari” kemudian musta’jir menjawab, “Aku akan lakukan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
3. Ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah :
a. Berupa harta tetap yang diketahui oleh kedua belah pihak
b. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah dengan menempati rumah tersebut
Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah Saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Sebaiknya upah diberikan per hari sesuai dengan hadits Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)
4. Ma’qud ‘alaih (barang/manfaat)
- Syarat barang dalam sewa menyewa :
a. Barang harus dimiliki oleh aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad
Dengan demikian ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
b. Adanya penjelasan manfaat
Penjelasan dilakukan agar benda yang disewa benar-benar jelas. Tidak sah dengan berkata, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini” karena tidak jelas.
c. Adanya penjelasan waktu
Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk membatasinya. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 349)
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan sebab bila tak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi. (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, Juz 1, hal. 396)
d. Sewa bulanan
Menurut ulama Syafi’iyah, seseorang tidak boleh berkata, “Saya menyewakan rumah ini setiap bulan 1 dinar” sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali membayar. Akad yang benar adalah dengan berkata, “Saya sewa selama sebulan”.
Sedangkan menurut jumhur ulama akad tersebut dipandang sah akad pada bulan pertama, sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu yang paling penting adalah adanya keridhaan dan kesesuaian dengan uang sewa. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 182)
e. Barang sewaan harus dapat memenuhi secara syara’
Tidak boleh seperti menyewa pelacur untuk sekian waktu.
f. Kemanfaatan dibolehkan secara syara’
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan secara syara’, seperti menyewakan rumah untuk tempat tinggal, menyewa motor untuk bekerja dan lain-lain.
Para ulama sepakat melarang ijarah, baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa. Dalam kaidah fiqih dinyatakan “menyewa untuk suatu kemaksiatan tidak boleh”. (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2, hal. 218)
g. Manfaat barang sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.
h. Barang sewaan terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat pada barang sewaan, penyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 195)
- Syarat manfaat dalam upah mengupah :
a. Penjelasan jenis pekerjaan
Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
b. Penjelasan waktu kerja
Tentang batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
c. Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Contohnya adalah menyewa orang untuk shalat, shaum dan lain-lain. Juga dilarang menyewa istri sendiri untuk melayaninya sebab hal itu merupakan kewajiban istri.
d. Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya.
Juga tidak mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuk atau tepungnya untuk dirinya.
Hal itu didasarkan hadits yang diriwayatkan Daruquthni bahwa Rasulullah Saw melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama Syafi’iyah menyepakatinya. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 192)
Ulama Hanabilah dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas sebab hadits di atas dipandang tidak shahih. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 449)
E. PEMBAGIAN JENIS
Ijarah terbagi 2 yaitu :
1. Ijarah terhadap benda atau sewa menyewa
2. Ijarah atas pekerjaan atau upah mengupah
F. HUKUM IJARAH
1. Hukum sewa menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah seperti rumah, kamar dan lain-lain tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam akad ijarah (sewa menyewa) :
a. Barang sewa diberikan setelah akad
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih (barang sewaan) harus diberikan setelah akad.
b. Cara memanfaatkan barang sewaan
- Sewa rumah
Jika seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
- Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan, ijarah dipandang rusak.
- Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara 2 hal yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
c. Perbaikan barang sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain, pemiliknyalah yang berkewajiban memperbaikinya tetapi ia tidak boleh dipaksa untuk memperbaiki barangnya sendiri.
Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela. Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
d. Kewajiban penyewa setelah masa sewa habis
Di antara kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah : (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 209)
- Menyerahkan kunci, jika yang disewa rumah
- Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat asalnya
2. Hukum upah mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal yakni jual beli jasa. Contohnya seperti jasa menjahit pakaian, membangun rumah dan lain-lain.
Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Ijarah khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah
b. Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada 3 perkara :
- Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam zat akad
- Mempercepat tanpa adanya syarat
- Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit
G. UPAH dalam PEKERJAAN IBADAH
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazdhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewanya, azan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut.
Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzin maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah”.
Perbuatan seperti azan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan zikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila seorang muslim wafat, maka keluarganya menyuruh para santri atau muslim lainnya untuk membaca Al-Qur’an di rumahnya selama 3 malam atau malam ke-7 atau malam ke-40. Setelah selesai pembacaan Al-Qur’an pada waktu yang telah ditentukan, mereka diberi upah.
Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain.
Allah Swt berfirman,
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 286)
Beberapa pendapat ulama madzhab tentang upah dalam ibadah :
1. Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
2. Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
3. Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.
Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.
4. Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.
H. PEMBAYARAN UPAH dan SEWA
Jika Ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir (penyewa), ia berhak menerima bayarannya karena musta’jir sudah menerima kegunaannya.
Hak menerima upah musta’jir adalah sebagai berikut :
1. Ketika pekerjaan selesai dikerjakan
Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu mengering”. (HR. Ibnu Majah)
2. Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa terjadi kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
I. TANGGUNG JAWAB ORANG yang DIGAJI/UPAH
Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat) harus mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian/kesengajaan atau tidak.
Jika tidak maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak.
Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian maka pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik disengaja ataupun tidak. Berbeda tentu kalau terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya seperti banjir, kebakaran, gempa dll.
Menurut madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka baik sengaja maupun tidak, segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.
J. MENYEWAKAN BARANG SEWAAN
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini boleh lebih besar, lebih kecil atau sama.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.
Misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang aman.
K. PEMBATALAN dan BERAKHIRNYA IJARAH
Ijarah menjadi fasakh (batal) bila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan musta’jir
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih) seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan
4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti musta’jir menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu
L. PENGEMBALIAN SEWAAN
Jika ijarah telah berakhir, musta’jir berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya dan jika bentuk barang sewaan adalah ‘iqar (tetap), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong.
Jika sewaan itu tanah maka ia wajib menyerahkan kepada mu’jir (pemiliknya) dalam keadaan kosong dari tanaman kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar