Allah Swt berfirman,
وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. (Q.S. Shaad 38 : 24)
A. PENGERTIAN
1. Secara bahasa (etimologi) : “Percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya”.
2. Secara syara’ (terminologi)
a. Menurut Malikiyah :
“Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk ber-tasharruf (pengaturan)”. (Ad-Dasuki, Asy-Syarh Al-Kabir ma’a Ad-Dasuqi, juz 3 hal. 348)
b. Menurut Hanafiyah :
“Ungkapan tentang adanya transaksi (aqad) antara 2 orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan”. (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar dar al-Muhtar, juz 3 hal. 364)
c. Menurut Syafi’iyah :
“Ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki 2 orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui)”. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3 hal. 364)
d. Menurut Hanabilah :
“Perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengelolaan harta (tasharruf)”. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 2 hal. 211)
Dilihat dari makna di atas maka pendapat yang paling jelas adalah pendapat Hanafiyah karena mengungkapkan hakikat perkongsian yaitu akad. Adapun pengertian lainnya menggambarkan tujuan, pengaruh dan hasil pengkongsian.
B. LANDASAN
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. (Q.S. Shaad 38 : 24)
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt berfirman, ‘Aku adalah yang ketiga pada 2 orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati temannya, Aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang mengkhianatinya’.” (HR. Abu Dawud dan Hakim menshahihkan sanadnya)
Rasulullah Saw bersabda, “Kekuasaan Allah senantiasa berada pada 2 orang yang bersekutu selama keduanya tidak berkhianat”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Ijma
Para ulama sepakat syirkah dibolehkan, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.
C. HUKUM SYIRKAH
Sebagian besar ulama fiqih berpendapat bahwa hukum syirkah adalah mubah (dibolehkan).
D. RUKUN
Menurut ulama Hanafiyah, rukun syirkah ada 2 yaitu ijab dan Kabul karena ijab Kabul (akad) menentukan adanya syirkah.
Adapun menurut pendapat jumhur ulama, rukun syirkah ada 3 yaitu :
1. Shighat (Ijab kabul)
Contoh : “Saya berserikat dengan anda dalam masalah ini”. Kemudian dijawab oleh pihak kedua, “Saya terima”
2. ‘Aqidan (dua orang pihak yang berakad)/Syarik)
3. Ma’qud ‘alaih/Objek akad (harta, pembagian kerja, pembagian laba dan kerugian)
E. SYARAT
Ada 2 syarat yang bertalian dengan semua bentuk syirkah :
1. Berkenaan dengan objek akad (harta dan keuntungan) :
a. Benda (harta) harus diterima sebagai perwakilan (dinar atau dirham)
b. Pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui oleh kedua belah pihak, misal setengah atau sepertiga.
2. Berkenaan dengan orang yang melakukan akad :
a. Merdeka
b. Baligh
c. Rusyd (pintar)
F. MACAM-MACAM SYIRKAH
Secara umum para fuqaha Mesir yang sebagian bermadzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa syirkah dibagi menjadi 4 macam : (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2 hal.248)
1. Syirkah ‘inan
Adalah kerjasama antara 2 orang dalam harta milik untuk berdagang bersama-sama dan membagi laba dan kerugian bersama-sama pula.
Para ulama fiqih sepakat membolehkan perkongsian jenis ini. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan persyaratannya sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam memberikan namanya.
Perkongsian ini banyak dilakukan karena tidak disyaratkan adanya kesamaan dalam modal dan pengolahan (tasharruf). Boleh saja modal satu orang lebih banyak dibandingkan yang lain, sebagaimana dibolehkan juga seseorang bertanggung jawab sedang yang lainnya tidak.
Begitu juga dalam bagi hasil, dapat sama dan dapat juga berbeda tergantung persetujuan yang mereka buat sesuai dengan syarat.
Dan kerugian didasarkan pada modal yang diberikan sebagaimana disyaratkan dalam kaidah : “Laba didasarkan pada persyaratan yang ditetapkan berdua, sedangkan kerugian atau pengeluaran didasarkan pada kadar harta keduanya”.
2. Syirkah mufawidhah
Arti mufawidhah menurut bahasa adalah persamaan. Dinamakan mufawidhah karena harus ada kesamaan dalam modal, keuntungan dan kerja.
Syirkah mufawidhah adalah akad 2 orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, penentuan bagi keuntungan dan pengolahan (kerja).
Ulama Hanafiyah membolehkan perkongsian semacam ini berdasarkan hadits, Rasulullah Saw bersabda, “Samakanlah modal kalian sebab hal itu lebih memperbesar barakah”.
Ulama Malikiyah membolehkan jenis perkongsian ini, dengan pengertian yang dikemukakan Hanafiyah di atas. Mereka membolehkan perkongsian ini dalam pengertian bahwa masing-masing yang melangsungkan akad memiliki kewenangan atau kebebasan dalam mengolah modal tanpa membutuhkan pendapat sekutunya.
Akan tetapi ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan kebanyakan ulama fiqih lain menolaknya dengan alasan bahwa perkongsian semacam ini tidak dibenarkan oleh syara’. Di samping itu, untuk merealisasikan adanya kesamaan sebagai syarat dalam perkongsian ini sangatlah sulit dan mengundang unsur gharar (penipuan).
Ulama Syafi’i berkata, “Seandainya perkongsian mufawidhah dikatakan tidak batal, tidak ada kebatalan yang aku tahu di dunia. Adapun hadits yang disebutkan di atas tidak dikenal (gharar ma’ruf) dan tidak diriwayatkan oleh para ahli hadits ashab sunan (ulama pengarang kitab sunan). Bahkan hadits di atas tidak dimaksudkan dalam masalah akad semacam ini”. (Ali al-Khafif, Asy-Syirkah fi Fiqh al-Islami, hal. 34)
3. Syirkah abdan (a’mal)
Perkongsian a’mal adalah persekutuan dua orang atau lebih untuk menerima suatu pekerjaan yang akan dilakukan bersama-sama. Kemudian keuntungan dibagi di antara keduanya dengan menetapkan persyaratan tertentu.
Perkongsian jenis ini terjadi, misalnya di antara dua orang penjahit, tukang besi dan lain-lain. Perkongsian ini disebut juga dengan perkongsian shana’i dan taqabbul.
Perkongsian ini dibolehkan oleh ulama Malikiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Malikiyah, pembagian keuntungan harus sesuai dengan kadar pekerjaan dari orang yang bersekutu.
Ulama Hanabilah membolehkan perkongsian jenis ini sampai pada hal-hal yang mubah seperti pengumpulan kayu bakar, rumput dan lain-lain. Hanya saja mereka dilarang kerja sama dalam hal makelar.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah jenis ini batal karena syirkah itu dikhususkan pada harta dan tidak pada pekerjaan. Alasan lain bahwa perkongsian dalam pekerjaan mengandung unsur penipuan sebab salah seorang yang bersekutu tidak mengetahui apakah temannya berkerja atau tidak. Selain itu, kedua orang tersebut dapat berbeda dalam segi postur tubuh, aktivitas dan kemampuannya.
Begitu juga dilarang bahkan mubah menurut Hanafiyah perkongsian dalam pekerjaan seperti mencari kayu, berburu dan lain-lain sebab perkongsian seperti ini mengandung unsur perwakilan tidak sah dalam perkara mubah sebab kepemilikannya dengan penguasaan. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2 hal. 212)
4. Syirkah wujuh
Perkongsian wujuh adalah bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal, untuk membeli barang secara tidak kontan dan akan menjualnya secara kontan, kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi di antara mereka dengan syarat tertentu.
Penamaan wujuh karena tidak terjadi jual beli secara tidak kontan jika keduanya tidak dianggap sebagai pemimpin dalam pandangan masyarakat. Perkongsian ini pun dikenal sebagai bentuk perkongsian karena adanya tanggung jawab bukan karena modal atau pekerjaan.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan jenis perkongsian ini sebab mengandung unsur adanya perwakilan dari seseorang kepada partnernya dalam penjualan dan pembelian.
Keduanya dibolehkan untuk mendapatkan keuntungan masing-masing ½ atau lebih dari ½ sesuai dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak. Keuntungan harus diukur berdasarkan tanggung jawab, tidak boleh dihitung melebihi kadar tanggungan masing-masing.
Pendapat ini antara lain didasarkan pada hadits, Rasulullah Saw bersabda, “(Bagian) orang-orang Islam bergantung pada syarat yang mereka (sepakati)”.
Adapun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa perkongsian semacam ini batal (tidak sah) dengan alasan tidak memiliki unsur modal dan pekerjaan yang harus ada dalam suatu perkongsian. (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2 hal.252).
Selain itu, perkongsian jenis ini akan mendekatkan pada munculnya unsur penipuan sebab perkongsian mereka tidak dibatasi oleh pekerjaan tertentu.
G. SIFAT AKAD SYIRKAH
Para ahli fiqih sepakat bahwa kewenangan syirkah adalah amanah, seperti titipan, karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya.
H. CARA MEMBAGI KEUNTUNGAN dan KERUGIAN
Cara membagi keuntungan atau kerugian tergantung besar dan kecilnya modal yang mereka tanamkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut :
Nama | Jumlah Modal Pokok | Penyertaan | Porsi Modal Pokok | Untung | Bagi Hasil |
Yusuf | 10 dirham | 2 dirham | 1/5 | 10 dirham | 1/5 x 10 = 2 dirham |
Awang | 3 dirham | 3/10 | 3/10 x 10 = 3 dirham | ||
Rofi | 3 dirham | 3/10 | 3/10 x 10 = 3 dirham | ||
Adit | 2 dirham | 1/5 | 1/5 x 10 = 2 dirham |
I. MENGAKHIRI SYIRKAH
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut :
1. Salah satu pihak membatalkannya atau pencabutan keridhaan syirkah meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar keridhaan kedua belah pihak
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf (keahlian mengelola harta) baik karena gila atau alasan lainnya.
3. Salah satu pihak wafat. Bila anggota syirkah lebih dari 2 orang, yang batal hanyalah yang wafat saja. Syirkah berjalan terus pada anggota lain yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota syirkah yang wafat menghendaki turut serta dalan syirkah tersebut maka dilakukan penjanjian baru bagi ahli waris bersangkutan.
4. Salah satu pihak di bawah pengampunan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan atau sebab lainnya.
5. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi kepemilikan syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
6. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Apabila harta lenyap setelah terjadi pencampuran menjadi resiko bersama.
7. Murtad
8. Membelot ketika perang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar