Rabu, 06 Oktober 2010

Pilih Jadi Pedagang Dunia atau Pedagang Akhirat? ( edisi 18)

Ada perbedaan antara pedagang dunia dan pedagang akhirat dilihat dari beberapa aspek :

  1. 1. Dilihat dari niat

Ikhlasnun Niat (niat yang ikhlas) merupakan syarat diterimanya ibadah sebelum ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah). Bisa jadi seorang hamba telah melaksanakan berbagai amal kebajikan tetapi ia tidak mendapatkan pahala sedikitpun atas amal yang dia lakukan. Hal ini terjadi karena dia tidak memurnikan niatnya untuk mencari ridha Allah Swt dalam beramal.

  1. a. Pedagang akhirat

Niat dalam berdagangnya adalah ikhlasun niat (niat yang ikhlas). Karena berdagang adalah bagian dari ibadah. Tidak akan diterima amal ibadah tanpa niat yang ikhlas yaitu hanya mengharapkan ridha Allah Swt.

Pengertian Ikhlas

Ikhlas berasal dari kata ikhlaash yang merupakan bentuk mashdar dari akhlasa-yukhlisu. Jadi, ia terangkat dari huruf dasar kha-la-sha yang menunjukkan makna penyucian. Makna kata al-khalish hampir sama dengan dengan kata ash-shafi.

Bedanya, al-khalish (suci atau bersih) mengandung makna bahwa kesucian tersebut memiliki campuran tertentu. Sementara kata ash-shafi dipergunakan untuk sesuatu yang telah menjadi suci dan bersih tanpa campuran apapun.

Ikhlas mempunyai 3 arti yaitu :

  1. Memurnikan tujuan ber-taqarrub kepada Allah Swt dari hal-hal yang mengotorinya
  2. Menjadikan Allah Swt sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan
  3. Mengabaikan makhluk dengan cara selalu berkonsentrasi kepada Al-Khaliq.

Di dalam Mufradat ar-Raghib, Ibnu Manzhur mengatakan bahwa khalasha asy-syai’udisebutkan untuk sesuatu yang pernah memiliki campuran di dalamnya kemudian campuran tersebut dipisahkan hingga benar-benar bersih.

Kalimat akhlasha lillaahi diinahu bermakna hanya menjadikan diinullah sebagai din yang dianut seorang hamba. Sementara itu, akhlasha asy-syai’a bermakna memilihnya. Kataal-mukhlashin menurut Tsa’lab adalah orang-orang yang menyerahkan ibadah mereka hanya kepada Allah Swt. Hati mereka telah disucikan dan dibersihkan oleh Allah Swt. Karena itu, al-mukhlashin disebut juga sebagai orang-orang terpilih.

Sementara itu, al-mukhlishiin adalah ahli tauhid (muwahid) yaitu hanya bertuhan kepada Allah Swt. Dari sini maka kata ikhlaash sama dengan kata tauhid (laa ilaaha illallaah). Maka ahlul ikhlash adalah ahlut tauhid.

Apabila suatu amal telah tercampuri oleh harapan-harapan duniawi yang disenangi oleh diri dan hati manusia, sedikit ataupun banyak, maka sungguh kejernihan amal itu telah tercemari, hilang pulalah keikhlasan.

Ikhlas adalah membersihkan hati dari segala kotoran, sedikit ataupun banyak, sehingga tujuan dari taqarrub benar-benar murni karena Allah Swt, bukan yang lain. Hal ini hanya akan datang dari seseorang yang mencintai Allah Swt dan menggantungkan seluruh harapannya di akhirat. Tidak tersisa tempat di hatinya sedikitpun untuk mencintai dunia.

Seseorang yang dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah Swt dan akhirat maka seluruh aktifitasnya merupakan cerminan dari cita-cita dan harapan-harapannya sehingga keseluruhannya dilakukan dengan ikhlas. Tidak ada bagian sedikitpun tempat di dalam hatinya untuk selain Allah swt.

  1. b. Pedagang dunia

Niat dalam berdagangnya adalah syirkun niat (niat yang syirik). Ia berdagang dengan niat ingin kaya, kesombongan, ujub, riya (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar) dan iri dengki.

Kebanyakan manusia terlena dalam harapan-harapannya dan juga syahwatnya. Hampir tidak ada suatu amalan atau ibadah yang dilakukan oleh seseorang, bisa benar-benar bersih dari harapan-harapan yang sebenarnya tidak berharga ini.

Orang yang telah dikalahkan oleh gemerlap dunia dan segala sesuatu selain Allah Swt maka seluruh aktifitasnya merupakan cerminan dari cita-cita dan harapan-harapannya sehingga keseluruhannya ditujukan untuk selain Allah Swt. Tidak ada bagian sedikitpun tempat di dalam hatinya untuk Allah Swt.

  1. 2. Dilihat dari cita-cita

Cita-cita itu ada 2 yaitu cita-cita yang hina (sebatas dunia) dan cita-cita mulia (sampai akhirat). Hasil didikan hari ini menghasilkan orang yang bercita-cita hina sebatas dunia yaitu bekerja di perusahaan besar, mempunyai gaji besar, menikah, punya rumah, punya anak, bekerja hingga pensiun dan menunggu mati.

Cita-cita mulia seperti cita-cita para ulama contohnya ulama tabi’in Urwah bin Zubair rh yang bercita-cita ingin menjadi ulama yang para sahabat pun bertanya kepada beliau. Dan ternyata dikabul oleh Allah Swt.

Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya. Dan Allah akan mengumpulkan dunianya, dan dunia datang kepadanya dengan tunduk. Dan barangsiapa menetapkan dunia sebagai tujuannya, Allah akan menjadikan kefakiran (kemiskinan) di depan matanya, menceraiberaikan dunianya, dan dunia tidak datang kecuali apa yang telah ditetapkan baginya”. (HR. Tirmidzi no. 2465, dishahihkan oleh Al-Albani)

  1. a. Pedagang akhirat

Ali bin Abi Thalib t berkata, “Dunia telah berjalan meninggalkan dan akhirat telah datang menghampiri, sedangkan dari keduanya mempunyai hamba-hamba. Maka jadilah kalian hamba-hamba akhirat dan janganlah menjadi hamba-hamba dunia!

Karena hari ini (di dunia) adalah saat untuk beramal dan tidak ada perhitungan, sementara besok (di akhirat) adalah saat untuk penghitungan dan tidak ada kesempatan untuk beramal”.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah r bersabda, “Allah I berfirman, ‘Wahai dunia jadilah kau pelayan bagi hamba-hamba-Ku dan jadikanlah orang-orang kafir menjadipelayan-pelayan bagimu’.”

Para Sahabat itu Tidak Cinta terhadap Dunia Meskipun Dunia Mencintai Mereka

Ali bin Abi Thalib t berkata, “Wahai dunia, wahai dunia! Mengapa engkau menabrakku, mengapa engkau menginginkanku? Menjauhlah, menjauhlah, dekati orang lain (jangan dekati aku). Kujatuhkan talak tiga padamu tidak ada kesempatan bagimu untuk kembali, umurmu pendek, hidupmu hina, celakamu besar. Oh sungguh malang bagi sedikitnya bekal, perjalanan jauh dan jalan sangat berliku”.

Ilmu dagang Rasulullah r paling banyak diturunkan kepada Abdurrahman bin Auf t. Thalhah bin Abdullah bin Auf berkata, ”Para penduduk Madinah berhutang budi kepada Abdurrahman bin Auf. Sepertiga dari mereka dipinjami uang, sepertiganya hutang-hutang mereka dilunasi, dan sepertiganya lagi diberi uang”.

Abdurrahman bin Auf t sedih melihat sahabat Mus’ab bin Umair yang wafat tapi tidak meninggalkan apapun. Beliau sedih karena ingin seperti sahabat tersebut tapi tidak bisa.

Barangsiapa yang selalu mencari ridha Allah I maka Allah akan memberikan kecerdasan untuk menundukkan dunia. Dunia berada di genggaman tangannya tetapi Allah I tetap ada di dalam hatinya.

  1. b. Pedagang dunia

Mereka bercita-cita mempunyai usaha besar, omzet besar, keuntungan besar, aset besar dan pelanggan banyak. Maka mereka berlomba-lomba mengejar dunia, menumpuk-numpuk dan menghiasinya. Mereka berbangga-bangga diri dengan aset, omzet dan keuntungan besar yang telah diraih.

Rasulullah r bersabda, “Empat macam yang menyebabkan binasa dan celaka (yaitu) mata yang kering, keras hati, panjang angan-angan, rakus terhadap dunia". (HR. Al-Bazzar)

Rasulullah r bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, Wahai anak Adam! Kerahkan tenaga dan pikiranmu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi hatimu dengan kekayaan dan aku hilangkan kemiskinanmu. Dan apabila, engkau tidak melakukannya, Aku akan memenuhi kehidupanmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan menghilangkan kemiskinanmu”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

  1. 3. Dilihat dari proses

Ketika niat dagang karena Allah maka prosesnya pun tidak akan melanggar syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah), ia tahu mana yang halal, haram dan syubhat. Tapi ketika niatnya mencari dunia maka pada prosesnya tidak mengenal istilah halal, haram dan syubhat, yang penting ada untungnya.

  1. a. Pedagang akhirat

Ia akan berusaha Ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah) dalam melakukan proses dagangnya baik dari sisi produk (halal dan thayyib), cara penawaran (yang jujur) dan dari sisi akad-akadnya (murabahah, khiyar, ijarah, mudharabah dan lain-lain).

  1. b. Pedagang dunia

Dalam proses dagangnya, ia tidak akan peduli apakah melanggar syar’i atau tidak, baik dari sisi produk, cara penawaran maupun dari akad-akadnya. Yang penting ada untungnya maka ia akan ambil.

  1. 4. Dilihat dari hasil

Allah I telah berjanji melalui lisan Rasul-Nya bahwa barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuan hidupnya, Allah I akan mencukupkan hajat hidupnya di dunia. Ingat, kesuksesan hakiki itu bukan meraih kekayaan dunia semata tapi kesuksesan hakiki adalah ketika mendapatkan naungan di padang mahsyar, terhindar dari api neraka dan memasuki surga yang seluas langit dan bumi.

  1. a. Pedagang akhirat

Setelah bertawakal (ikhtiar dan doa), tidak pengaruh apakah ada hasil atau tidak. Tidak pengaruh pula apakah hasilnya banyak atau sedikit karena yang ia cari adalah barakah. Barakah adalah pengabulan doa dan tercukupinya kebutuhan hidup.

Allah Swt berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Q.S. Al A'raaf 7 : 96)

Yakni seandainya hati mereka beriman, membenarkan dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw serta bertakwa dengan melaksanakan ketaatan dan meninggalkan yang haram pastilah Allah akan melimpahkan berkah kepada mereka.

Ada 2 kerberkahan yaitu keberkahan langit (pengabulan doa) dan keberkahan bumi (terpenuhinya kebutuhan hidup).

  1. b. Pedagang dunia

Yang dilihat adalah keuntungan, omzet dan aset. Sukses atau tidaknya seorang pedagang dilihat dari hasilnya. Semakin besar hasilnya maka semakin sukses. Dan semakin kecil hasilnya maka semakin gagal.

Kesimpulan

Jangan sampai kesibukan dunia membuat seorang muslim lupa mengingat Allah, meninggalkan perintah dan kewajiban diinul Islam. Hendaklah selalu diingat bahwakefakiran (kemiskinan) ataupun kesuksesan (kekayaan) adalah ujian dari Allah Swt sehingga tidak sibuk untuk mencari dunia dan melupakan target hidup yang paling utama yaitu akhirat. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw bahwa pokok segala urusan adalah dinul Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar