Allah Swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْل
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
[179]. Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang atau sewa menyewa dan sebagainya.
A. PENGERTIAN
1. Menurut bahasa
Yang dimaksud hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan. Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa adalah :
النقل من محل الى محل
(Annaqlu min mahallin ilaa mahalli)
“Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain”. (al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah, hal. 210)
2. Menurut syara’
Pengertian Hiwalah menurut syara’ (istilah) para ulama mendefinisikannya antara lain sebagai berikut :
a. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah adalah :
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”
b. Menurut Maliki, Syafi’i dan Hanbali, hiwalah adalah :
“Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak yang lain”.
Kalau diperhatikan, maka kedua definisi di atas bisa dikatakan sama. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa madzhab Hanafi menekankan pada segi kewajiban membayar hutang. Sedangkan ketiga madzhab lainnya menekankan pada segi hak menerima pembayaran hutang.
B. LANDASAN HUKUM
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut). (HR Jama’ah)
Rasulullah Saw bersabda, “Orang yang mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang di antara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pemindahan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR Ahmad & Baihaqi)
3. Ijma’
Kesepakatan ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian :
1. Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
a. Hiwalah al-haqq yaitu apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang (pemindahan hak).
b. Hiwalah al-dain yaitu apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang (pemindahan hutang/kewajiban).
2. Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
a. Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan bersyarat)
Contoh :
A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham. Sedangkan B berpiutang kepada C sebesar 5 dirham. B kemudian memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti pembayaran hutang B kepada A.
Dengan demikian hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pemindahan hak). Sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakan hiwalah al-dain karena B mengalihkan kepada A menjadi kewajiban C kepada A (pemindahan hutang/kewajiban).
b. Hiwalah al-Muthlaqah yaitu pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak).
Contoh :
A berhutang kepada B sebesar 5 dirham. Kemudian A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A.
Dengan demikian, hiwalah al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah al-dain saja karena yang dipindahkan hanya hutang A kepada B menjadi hutang C kepada B.
D. RUKUN HAWALAH
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang melakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6 :
1. Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
2. Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah
4. Ada piutang muhil kepada muhal
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
6. Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”. (Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
E. SYARAT HIWALAH
Semua Imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) menyatakan bahwa hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan muhil (pihak pertama), muhal dan muhal ‘alih serta berkaitan dengan hutang tersebut.
1. Syarat bagi muhil (pihak pertama) adalah :
a. Baligh dan berakal
Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz) ataupun dilakukan oleh orang gila.
b. Ridha
Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.
2. Syarat bagi muhal (pihak kedua) adalah :
a. Baligh dan berakal
b. Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah (madzhab Hanafi, sebagian besar madzhab Maliki dan Syafi’i)
Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Sedangkan menerima pelunasan itu merupakan hak muhal.
Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja, muhal dapat saja merasa dirugikan, contohnya apabila ternyata muhal ‘alaih (pihak ketiga) sudah membayar hutang tersebut.
3. Syarat bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah :
a. Baligh dan berakal
b. Ada persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi). Sedangkan menurut madzhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini sebab dalam akad hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan demikian persetujuan tidak merupakan syarat sah hiwalah.
4. Syarat yang diperlukan bagi hutang yang dialihkan adalah :
a. Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
b. Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadah, semua ulama fikih sepakat bahwa baik hutang muhil kepada muhal maupun muhal ‘alaih kepada muhil harus sama jumlah dan kualitasnya.
Jika antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang) atau perbedaan kualitas (hutang dalam bentuk barang) maka hawalah tidak sah.
Tetapi apabila pengalihan itu dalam bentuk hiwalah al-muthlaqah (madzhab Hanafi) maka kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.
c. Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut harus sama pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama maka tidak sah.
F. KONSEKUENSI AKAD HIWALAH
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban muhil untuk membayar hutang kepada muhal dengan sendirinya menjadi terlepas (bebas). Sedangkan menurut sebagian ulama madzhab Hanafi antara lain Kamal bin Humman, kewajiban tersebut masih tetap ada selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada muhal.
2. Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi muhal untuk menuntut pembayaran hutang kepada muhal ‘alaih
3. Madzhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah al-muthlaqah berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-muthlaqah terjadi karena inisiatif dari muhil maka hak dan kewajiban antara muhil dan muhal ‘alaih yang mereka tentukan ketika melakukan akad hutang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama
G. AKAD HIWALAH BERAKHIR
Akad hawalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut :
1. Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap.
2. Muhal melunasi hutang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih
3. Jika muhal meninggal dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi harta muhal.
4. Muhal ‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada muhal.
5. Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.
6. Menurut madzhab Hanafi, hak muhal tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit. Sedangkan menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali selama akad hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah dipenuhi maka akad hiwalah tidak dapat berakhir dengan mengalami alasan pailit.
Refrensinya mana gan?
BalasHapusAssalamualaikum wrb,perkenalkan saya Sinta dari Padang saya pengusaha properti,saya ngin berbagi pengalaman kepada teman2 semua,dulu saya hanya penjual jamu keliling,hidup susah penghasilanpun hanya bisa untuk makan,saya punya anak tiga suami tinggalkan saya pada saat kelahiran anak saya yang ke 3.putus asa sempat terlintas dipikiran saya,tapi saya harus berjuang demi anak2 saya,tidak sengaja saya buka internet dan saya lihat no ustad Hakim,saya coba telpon beliau,saya dikasi solusi tapi saya ragu untuk menjalankannya tapi saya coba beranikan diri mengikuti saran beliau syukur alhamdulillah sekarang saya bisa sukses seperti ini usaha properti saya terbilang sukses,sekarang semua anak2 saya sekolah dan sudah ada yang sarjana,terimah kasih saya ucapkan pada aki guntur berkat anda saya bisa seperti ini,khusus untuk room ini terima kasih karna saya bisa berbagi pengalaman,untuk teman2 yang mau seperti saya atau yang sedang dalam kesusahan khususnya yang terlilit hutang banyak silahkan hub aki guntur di nmr 082281871557 insya Allah dikasi solusi,ini pengalaman saya nyata dan tidak ada karangan apapun sumpah atas nama Allah,salam persaudaraan,WAssalam
BalasHapus