قَالُواْ نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاء بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَاْ بِهِ زَعِيمٌ
Allah Swt berfirman, “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”. (Q.S. Yusuf 12 : 72)
A. PENGERTIAN
1. Menurut bahasa
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan zama’ah (tanggungan)
2. Menurut syara’
a. Menurut madzhab Maliki
Al-Kafalah adalah “Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda”. (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, hal. 223)
b. Menurut madzhab Hanafi
Al-Kafalah mempunyai 2 pengertian :
- Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang atau zat benda.
- Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah yang lain dalam pokok (asal) utang. (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, hal. 221)
c. Menurut madzhab Syafi’i
Al-Kafalah adalah “akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”. (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, hal. 225)
d. Menurut madzhab Hanbali
Al-kafalah adalah “Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan 2 harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”. (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, hal. 224)
Setelah diketahui definisi-definisi al-kafalah atau al-dhaman menurut para ulama di atas maka al-kafalah atau al-dhaman ialah menggabungkan 2 beban (tanggungan) dalam permintaan dan utang.
B. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman, “Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)". (Q.S. Yusuf 12 : 66)
Allah Swt berfirman, “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Q.S. Yusuf 12 : 72)
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar”. (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)
Diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi Saw pernah menjamin 10 dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih sampai sebulan maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih. (HR. Ibnu Majah)
Diriwayatkan bahwa sesungguhnya telah dibawa ke hadapan Nabi Saw jenazah seseorang, mereka berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, shalatkanlah mayat ini. Beliau bertanya, “Adakah dia meninggalkan harta?”. Mereka menjawab, “Tidak”. “Apakah ia ada meninggalkan hutang?”. Jawab mereka, “Ada, hutangnya 3 dinar”. Beliau berkata, “Shalatkanlah teman kalian itu”. Abu Qatadah berkata, “Shalatlah atasnya ya Rasulullah, sayalah yang menanggung utangnya”. Kemudian Nabi Saw menyalatinya”. (HR. Bukhari, An-Nasa’i & Ahmad)
3. Ijma’
Ijma’ulama membolehkan (mubah) dhaman dalam muamalah karena dhaman sangat diperlukan dalam waktu tertentu. Adakalanya orang memerlukan modal dalam usaha dan untuk mendapatkan modal itu biasanya harus ada jaminan dari seseorang yang dapat dipercaya, apalagi usaha dagangannya besar.
C. RUKUN
1. Adh-Dhamin (orang yang menjamin)
2. Al-Madhmun lahu (orang yang berpiutang)
3. Al-Madhmun ‘anhu (orang yang berhutang)
4. Al-Madhmun (objek jaminan) berupa hutang, uang, barang atau orang
5. Sighah (akad/ijab)
D. SYARAT
1. Adh-dhamin yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, merdeka dalam mengelola harta bendanya/tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang di bawah pengampunan tidak dapat menjadi penjamin.
2. Al-Madhmun lahu yaitu orang yang berpiutang, bisa disebut juga mafkul lahu. Syaratnya yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, ada yang keras dan ada yang lunak.
Hal ini dilakukan untuk kemudahan dan kedisiplinan terutama dimaksudkan untuk menghindari kekecewaan di belakang hari bagi penjamin, bila orang yang dijamin membuat ulah.
3. Al-Madhmun ‘anhu adalah orang yang berutang, tidak disyaratkan baginya kerelaan terhadap penjamin karena pada prinsipnya hutang itu harus lunak, baik orang yang berhutang rela maupun tidak. Namun lebih baik dia rela/ridha.
4. Al-Madhmun adalah utang, barang atau orang. Disebut juga madmun bih atau makful bih. Disyaratkan pada madhmun dapat diketahui dan tetap keadaannya (ditetapkan), baik sudah tetap maupun akan tetap.
Oleh karena itu tidak sah dhaman (jaminan), jika objek jaminan hutang tidak diketahui dan belum ditetapkan karena ada kemungkinan hal ini ada gharar (tipuan/ketidakjelasan)
5. Sighat atau lafadz adalah pernyataan yang diucapkan oleh penjamin, disyaratkan keadaan sighat mengandung makna menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.
Umpamanya “Saya menjamin hutangmu kepada si A” dan sebagainya yang mengandung ungkapan jaminan.
Lafadz-lafadz yang menunjukkan al-kafalah menurut para ulama adalah seperti lafadz : Tahammaltu, takaffultu, dhammintu, ana kafil laka, ana za’im, huwa laka ‘indi, atau huwa laka ‘alaya.
Shighat hanya diperlukan bagi pihak penjamin. Dengan demikian, kafalah/dhaman hanya pernyataan sepihak saja.
Hendaknya diingat bahwa jaminan berlaku hanya menyangkut harta dengan sesama manusia saja, tidak dengan Allah.
Contohnya : menjamin hukuman qishash bagi pembunuh dan potong tangan bagi pencuri. Hukuman tersebut harus dijalani langsung oleh pelakunya dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain.
E. MACAM-MACAM KAFALAH
Secara umum kafalah dibagi menjadi 2 bagian :
1. Kafalah bil wajh (kafalah dengan jiwa)
Yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin (al-kafil/al-dhamin/al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makfu lahu). Penjaminan yang menyangkut masalah manusia hukumnya mubah (boleh). Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan karena kafalah menyangkut badan bukan harta.
Contohnya : A menjamin menghadirkan B yang sedang dalam perkara mahkamah (pengadilan) pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Penjaminan tentang hak Allah seperti had al-khamar dan had menuduh zina tidak sah, sesuai hadits Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada kafalah dalam had”. (HR. Baihaqi)
Menurut madzhab Syafi’i bahwa kafalah dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia seperti qishash dan qadzaf karena kedua hal tersebut termasuk hak yang lazim. Bila menyangkut had yang telah ditentukan oleh Allah Swt maka hal itu tidak sah dengan kafalah.
Menurut madzhab Maliki, jika seeorang menjamin akan menghadirkan seseorang maka orang tersebut wajib menghadirkannya. Bila ia tidak dapat menghadirkannya, sedangkan penjamin masih hidup atau penjamin itu berhalangan hadir maka penjamin wajib membayar utang orang yang ditanggungnya.
Menurut madzhab Hanafi bahwa penjamin (kafil/dhamin) harus ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut atau sampai penjamin mengetahui bahwa ashil telah wafat. Dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan harta kecuali ketika menjamin mensyaratkan demikian (akan membayarnya).
Menurut madzhab Syafi’i, bila ashil telah wafat maka kafil tidak wajib membayar kewajibannya karena ia tidak menjamin harta tetapi menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawab.
2. Kafalah bil mal (kafalah dengan harta) yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin/kafil dengan pembayaran (pemenuhan) harta. Kafalah harta ada 3 macam :
a. Kafalah bi al-dayn
Adalah kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain. Contoh : A menjamin utang B kepada C.
b. Kafalah dengan penyerahan benda
Yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang di-ghasab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil seperti dalam kasus ghasab. Namun bila bukan berbentuk jaminan, kafalah batal.
Contoh : A menjamin mengembalikan barang yang dipinjam oleh B kepada C. Apabila B tidak mengembalikan barang itu kepada C maka A wajib mengembalikannya kepada C.
c. Kafalah dengan ‘aib
Adalah bahwa barang yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.
F. PELAKSANAAN KAFALAH
Kafalah dapat dilaksanakan dalam 3 bentuk yaitu :
1. Munjaz (tanjiz)
Adalah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata, “Saya tanggung si Fulan dan saya jamin si Fulan sekarang”.
Apabila akad penanggungan terjadi maka penanggungan itu mengikuti akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan atau dicicil kecuali disyaratkan pada penanggungan.
2. Mu’allaq (ta’liq)
Adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seseorang berkata, “Jika kamu mengutangkan pada anakku maka aku yang akan membayarnya” atau “Jika kamu ditagih A maka aku yang akan membayarnya”.
3. Mu’aqqat (tauqit)
Adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang “Bila ditagih pada bulan Ramadhan maka aku yang menanggung pembayaran utangmu”. Menurut madzhab Hanafi penangguhan seperti ini sah tetapi menurut madzhab Syafi’i batal.
Apabila akad telah berlangsung maka madmun lahu boleh menagih kepada kafil atau kepada madhmun ‘anhu, hal ini dijelaskan oleh jumhur ulama.
G. PEMBAYARAN DHAMIN
Apabila orang yang menjamin (dhamin) memenuhi kewajibannya dengan membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madhmun ‘anhu apabila pembayaran itu atas izinnya.
Dalam hal ini para ulama sepakat, namun mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang dijamin bebannya. Menurut Syafi’i dan Hanafi bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah dan dhamin tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada madhmun ‘anhu. Menurut madzhab Maliki, dhamin berhak menagih kembali kepada madhmun ‘anhu.
Menurut Ibnu Hazm, dhamin tidak berhak menagih kembali kepada madhmun ‘anhu atas apa yang telah ia bayarkan baik dengan izin madhmun ‘anhu maupun tidak. Kafil berkewajiban menjamin dan tidak dapat mengelak dari tuntutan kecuali membayar atau madhmun lahu membebaskan utang untuk kafil adalah mem-fasakh-kan (menghapus) akad kafalah, sekalipun madhmun ‘anhu dan kafil tidak rela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar