A. PENGERTIAN
1. Menurut bahasa
Rahn (gadai) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat. (Kifayatul Akhyar, hal. 261 & Idris Athlad, Fiqh al-Syafi’iyah, hal. 59)
Ada juga yang mengartikan rahn adalah al-tsubuutu wad dawaamu (tetap dan lama) atau al-hasbu wal luzuumu (pengekangan dan keharusan).
2. Menurut syara’
a. Menurut Syafi’iyah
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj 2/121)
b. Menurut Hanabilah
Rahn adalah “Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni)
Rahn adalah “menjadikan zat suatu benda sebagai jaminan utang”. (Muhammad Khatib al-Syarbini, al-Iqna fi Hal al-Alfazh ahi Syuja’, hal. 23)
B. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)
[1] : Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Firman Allah Swt “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)” adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman.
Selain itu perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas dilakukan ketika tidak ada penulis, padahal hukum hutang sendiri tidaklah wajib, begitu juga penggantinya yaitu barang jaminan. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 4/327)
2. As-Sunnah
Dari Siti Aisyah ra bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Ijma
Para ulama sepakat bahwa hukum rahn itu mubah (dibolehkan) tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai.
Ada ulama yang berpendapat bahwa gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian) saja. Paham ini dianut oleh mazhab zahiri, Mujahid & al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai dalam keadaan safar atau tidak.
C. RUKUN
1. Aqid (orang yang berakad) yaitu rahin (yang menggadaikan) dan murtahin (yang menerima gadai)
2. Marhun (barang yang dijadikan jaminan)
3. Marhun bih (Utang)
4. Shighat (ijab kabul)
D. SYARAT
1. Aqid
Kedua aqid yaitu rahin dan murtahin harus memenuhi kriteria al-aliyah. Menurut ulama Syafi’iyah, ahliyah adalah orang yang telah sah dalam jual beli yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.
Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayyiz dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
Menurut ulama Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh atau anak kecil yang belum baligh.
Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya kecuali jika dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa pemegangnya dapat dipercaya.
2. Marhun (borg)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahn. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin. (Ibnu Qudamah, Mughni al-Muhtaj 4/337)
Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun antara lain : (Al-Kasani, Al-Badai’ Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz 6, hal. 135 – 140) :
1. Dapat diperjualbelikan
2. Bermanfaat
3. Jelas
4. Milik rahin
5. Bisa diserahkan
6. Tidak bersatu dengan harta lain
7. Dipegang (dikuasai) oleh rahin
8. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
3. Marhun bih (utang)
Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama Hanafiyah memberikan beberapa syarat yaitu :
a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih hendaklah berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk benda.
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn. (Al-Kasani, Al-Badai’ Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz 6, hal. 134)
c. Hak atas marhun bih harus jelas
Dengan demikian, tidak boleh memberikan 2 marhun bih tanpa dijelaskan utang mana menjadi rahn.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan 3 syarat bagi marhun bih :
a. Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan
b. Utang harus lazim pada waktu akad
c. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin
4. Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena rahn itu jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang shahih dan ada yang rusak. Uraiannya sebagai berikut :
a. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada 3 :
1. Syarat shahih, seperti mensyaratkan agar rahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita
2. Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal tetapi akadnya sah
3. Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi 2 yaitu rahn shahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang di dalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung jawab rahin.
c. Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama Malikiyah di atas, yakni rahn terbagi, shahih dan fasid. Rahn shahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.
E. HUKUM RAHN & DAMPAKNYA
Hukum rahn secara umum terbagi dua yaitu :
1. Rahn shahih
Rahn shahih adalah rahn yang memenuhi persyaratan sebagaimana dijelaskan di atas. Kelaziman rahn bergantung pada rahin, bukan murtahin. Rahin tidak memiki kekuasaan untuk membatalkannya. Sedangkan murtahin berhak membatalkannya kapan dia mau.
Selain itu menurut jumhur ulama, rahn baru dipandang sah bila borg sudah dipegang oleh murtahin. Sedangkan menurut ulama Malikiyah cukup dengan adanya ijab dan qabul. Kemudian meminta rahin untuk menyerahkan borg.
Jika akad rahn telah sempurna yakni rahin menyerahkan borg kepada murtahin maka terjadilah beberapa hukum berikut :
a. Adanya utang untuk rahin
Utang yang dimaksud adalah utang yang berkaitan dengan barang yang digadaikan saja.
b. Hak menguasai borg
Penguasaan atas borg sebenarnya berkaitan dengan utang rahin yakni untuk memberikan ketenangan kepada murtahin apabila rahin tidak mampu membayar utang. Dengan kata lain, jika orang berutang tidak mampu membayar maka ia dapat membayarnya dengan borg.
Menurut ulama Hanafiyah, keberlangsungan akad pada rahn bergantung pada borg yang dipegang murtahin. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, penguasaan borg semata-mata sebagai penolong untuk membayar utang rahin.
Murtahin dibolehkan menagih utang rahin sambil tetap menguasai borg. Begitu pula rahin berhak meminta murtahin untuk menghadirkan borg jika ia telah membayar utangnya.
c. Menjaga barang gadaian
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin harus menjaga borg sebagaimana menjaga barang miliknya sendiri yakni seperti barang titipan. Jika rusak atas kelalaian murtahin, ia harus bertanggung jawab untuk memperbaiki atau menggantinya.
d. Pembiayaan atas borg
Ulama fiqih sepakat bahwa rahin berkewajiban membiayai atau mengurus borg. Namun demikian, di antara mereka berbeda pendapat tentang jenis pembiayaan yang harus diberikan yaitu :
- Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pembiayaan dibagi antara rahin dan murtahin. Rahin yang memberikan pembiayaan dan murtahin yang berhubungan dengan penjagaannya. Diantara kewajiban rahin adalah memberikan keperluan hidup borg, jika borg berupa hewan, juga upah penggembala dan upah menjaga bagi murtahin. Murtahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin rahin. (Al-Kasani, Al-Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Ay-Syara’i, 6/151)
- Ulama Hanabilah, Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa rahin bertanggung jawab atas pembiayaan borg, baik yang berhubungan dengan pemberian keperluan hidup atau yang berhubungan dengan penjagaan. (Ad-Dasuqi, Hasyiah Ad-Dasuqi ala Asyarhi al-Kabir, 3/251)
Hukuman bagi rahin, jika ia tidak mau membiayai borg adalah sebagai berikut :
1. Menurut ulama Malikiyah, jika rahin tidak mau membiayai borg, murtahin harus membiayainya, kemudian dijadikan utang bagi rahin, baik atas seizing rahin maupun tidak.
2. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin harus dipaksa untuk membiayai borg jika rahin ada. Akan tetapi, jika rahin tidak ada diperlukan bantuan qadhi untuk mengambil sebagian hartanya jika rahin memiliki harta atau menjual sebagian borg atau hakim menyuruh murtahin untuk membiayainya kemudian dijadikan utang lagi.
Jika pembiayaan murtahin atas borg tanpa seizin qadhi, murtahin harus bersumpah bahwa pembiayaan atas borg dimaksudkan agar kelak diganti rahin.
3. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika pembiayaan tanpa seizing rahin, padahal dimungkinkan untuk meminta izin kepadanya, rahin tidak diharuskan untuk menggantinya.
Akan tetapi, jika murtahin tidak dimungkinkan untuk meminta izin kepada rahin, murtahin harus mengembalikan pembiayaan tersebut walaupun tidak disaksikan oleh qadhi.
e. Pemanfaatan gadai
Pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan borg sebab hal itu akan menyebabkan borg hilang atau rusak. Hanya saja diwajibkan untuk mengambil faedah ketika berlangsungnya rahn. Siapa saja yang berhak memanfaatkannya, rahinkah atau murtahin? Untuk lebih jelas perhatikan uraian berikut :
1. Pemanfaatan rahin atas borg
Di antara para ulama terdapat 2 pendapat. Jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan borg, sedangkan Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memadaratkan murtahin. Uraiannya sebagai berikut :
a. Ulama Hanafiyah (Al-Kasani, Al-Badai’ ash-Shana’I fi Tartib Ay-Syara’i 6/146) berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin murtahin. Begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizing rahin
Mereka beralasan bahwa borg harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah (Ibnu Qudamah, Al-Mughni 4/139), sebab manfaat yang ada dalam borg pada dasarnya termasuk rahn.
b. Ulama Malikiyah (Ad-Dasuqi, Hasyiah ad-Dasuqi ala Syarhi al-Kabir 3/241) berpendapat bahwa jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan borg, akad menjadi batal. Adapun murtahin dibolehkan memanfaatkan borg sekedarnya (tidak boleh lama), Itupun atas tanggungan rahin.
Sebagian ulama Malikiyah berpendapat jika murtahin terlalu lama memanfaatkan borg, ia harus membayarnya. Sebagian ulama berpendapat tidak perlu membayar. Pendapat lainnya diharuskan membayar kecuali jika rahin mengetahui dan tidak mempermasalahkannya.
c. Ulama Syafi’iyah (Muhammad asy-Syarbini, Al-Mughni al-Muhtaj 2/131) berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan borg. Jika tidak menyebabkan borg berkurang, seperti sawah dan kebun maka rahin harus meminta izin kepada murtahin.
2. Pemanfaatan murtahin atas borg
Jumhur ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg kecuali jika rahin tidak mau membiayai borg. Dalam hal ini murtahin dibolehkan mengambil manfaat sekedar untuk mengganti ongkos pembiayaan.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa murtahin boleh memanfaatkan borg jika berupa hewan seperti dibolehkan untuk mengendarai atau mengambil susunya, sekedar pengganti pembiayaan. (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, 2/273)
Pendapat para ulama antara lain :
a. Ulama Hanabilah (Al-Kasani, Al-Bada’i ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, 6/163) berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
Sebagian ulama Hanafiyah ada yang membolehkan untuk memanfaatkannya jika diizinkan oleh rahin tetapi sebagian lainnya tidak membolehkannya sekalipun ada izin bahkan mengkategorikannya sebagai riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan borg, hukumnya haram sebab termasuk riba.
b. Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad. Dan borg tersebut berupa barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir senada dengan pendapat Syafi’iyah. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj,2/121)
c. Pendapat Ulama Hanabilah (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 4/385) berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.
f. Tasharuf (mengusahakan) rahn
1. Tasharruf rahn
- Rahin dibolehkan mengusahakan borg, seperti meminjamkan, menjual, hibah, sedekah dan sebagainya sebelum diserahkan kepada murtahin
- Rahin tidak boleh mengusahakan borg setelah diserahkan kepada murtahin kecuali atas seizin murtahin
2. Tasharruf murtahin
Murtahin tidak dibolehkan untuk tasharruf (mengusahakan) borg tanpa seizin murtahin. Hal ini karena perbuatannya itu dapat diartikan bahwa ia telah mengusahakan barang yang bukan miliknya.
g. Tanggung jawab atas borg
1. Sifat tanggung jawab murtahin
Dalam memandang tanggung jawab murtahin atas barang, para ulama terbagi menjadi 2 golongan :
- Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa borg dapat dipandang sebagai amanat jika memandang zat harta yang digadaikan dan dapat dianggap tanggungan jika memandang borg sebagai harta untuk membayar utang.
- Jumhur ulama berpendapat bahwa borg adalah amanat maka murtahin tidak bertanggung jawab atas kerusakannya jika bukan disebabkan oleh kesalahannya.
2. Cara tanggung jawab murtahin
- Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa borg dapat menanggung utang. Jika nilainya lebih kecil, kekurangannya dikembalikan kepada rahin. Sebaliknya, jika nilai borg lebih besar dari utang, kelebihannya harus dikembalikan kepada rahin
- Jumhur ulama berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas rahn jika rusak tanpa disengaja, dan utang tidak dapat dianggap lunas
3. Hukum borg yang rusak
Ulama sepakat jika borg rusak dengan sengaja, perusaknya harus bertanggung jawab.
h. Menjual rahn
1. Kekuasaan menjual rahn
- Penjualan waktu pilihan (berlangsungnya rahn)
Ulama sepakat bahwa yang berhak menjual borg adalah rahin tapi harus seizin murtahin.
- Penjualan secara paksa
Qadhi diharuskan memaksa rahin untuk menjual borg jika ia tidak mampu membayar utang sampai batas waktu yang telah ditentukan.
2. Menjual barang yang cepat rusak
Apabila borg akan rusak jika tidak segera dijual dan tidak dapat bertahan lama, murtahin dibolehkan menjualnya atas seizin qadhi.
3. Hak menentukan harga
Jumhur ulama sepakat bahwa murtahin lebih berhak menentukan harga jual borg sehingga dapat menutupi utang kepada murtahin.
4. Murtahin mensyaratkan untuk memiliki borg
Ulama sepakat bahwa murtahin tidak boleh mensyaratkan bahwa jika rahin tidak mampu membayar, barang gadaian menjadi miliknya. Syarat seperti itu dikategorikan syarat fasid.
i. Penyerahan borg
Jumhur ulama sepakat bahwa borg dikembalikan kepada rahin jika ia telah melunasi utangnya, yakni rahin membayar terlebih dahulu utangnya kemudian menyerahkan barang.
2. Rahn ghair shahih (fasid)
Rahn fasid adalah rahn yang tidak memenuhi persyaratan rahn. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahn ghair shahih terbagi dua yaitu :
a. Batal, tidak memenuhi persyaratan asal akad misal aqid tidak ahli
b. Fasid, tidak terpenuhinya persyaratan pada sifat akad seperti borg berkaitan dengan barang lain
F. SIFAT RAHN
Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan rahin kepada murtahin tidak ditukar dengan sesuatu. (Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar, juz 5 hal. 340). Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad seperti hibah, ariyah, wadi’ah dan qiradh. Semua termasuk akad tabarru’ (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu) sesuai akidah “Laa yatimmut tabarru’ illa bil qabdhi (tidak sempurna tabarru kecuali dengan pemegangan)”.
G. PENAMBAHAN BORG & HUTANG
1. Penambahan borg
Ulama fiqih sepakat bahwa tambahan yang ada pada borg adalah milik rahin sebab dialah pemilik aslinya. Untuk lebih jelasnya tentang pendapat mereka perhatikan uraian berikut :
a. Ulama Hanafiyah (Al-Kasani, Al-Bada’i ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, 6/152) berpendapat bahwa tambahan yang terjadi pada borg yang termasuk rahn, baik yang berkaitan dengan rahn seperti buah (dari pohon) atau susu (dari hewan) atau yang terpisah seperti anak (dari hewan) adalah tambahan yang tidak berkaitan dengan rahn.
b. Ulama Malikiyah (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, 2/272) berpendapat bahwa termasuk rahn adalah sesuatu yang dihasilkannya, berkaitan dan tidak terpisah seperti susu (dari dari hewan)
2. Penambahan utang
Jumhur ulama membolehkan rahin untuk menambah borg. Misal rahin meminjam 2 dirham dengan menggadaikan baju, kemudian ia menambah satu baju lagi untuk gadai tersebut. Namun demikian, di antara ulama fiqih terjadi perbedaan pendapat apabila rahin meminta tambahan utang, seperti rahin meminjam 1 dinar dengan menggadaikan sepeda, kemudian rahin meminjam lagi 1 dinar tanpa menambah borg.
Menanggapi hal tersebut, pendapat ulama fiqih terbagi 2 :
1. Ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Imam Syafi’i menyatakan tidak sah menambah utang sebab dapat dianggap rahn kedua, padahal borg berkaitan dengan rahn pertama.
2. Imam Malik, Abu Yusuf, Abu Tsur, Al-Majani dan Ibnu Mundzir membolehkan tambahan tersebut dengan rahn kedua membatalkan rahn yang pertama. Dengan demikian, sama dengan menggadaikan satu borg untuk dua utang.
H. PEMANFAATAN BARANG GADAI
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat diantaranya jumhur fuqaha dan Ahmad.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadaian, meskipun rahin mengizinkannya karena hal itu termasuk kepada utang yang menarik manfaat sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasulullah Saw bersabda, “Kullu qardhin jarra manfa’atan fa huwa ribaa (Setiap utang yang menarik manfaat adalah riba)”. (Riwayat Harits bin Abi Usamah)
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang bisa digunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya maka murtahin dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Rasulullah Saw bersabda, “Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”. (Al-Kahlani, Subul as-Salam, hal 51)
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi murtahin punya kewajiban tambahan. Murtahin berkewajiban memberikan makanan bila marhun (borg)-nya adalah hewan.
Jadi, yang dibolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap marhun yang ada pada murtahin.
I. RESIKO KERUSAKAN MARHUN
Bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya kecuali bila rusak atau hilangnya marhun karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan seperti gudang tidak dikunci hingga hilang dicuri.
Murtahin diwajibkan memelihara marhun sebagaimana layaknya. Bila tidak, ketika ada cacat atau kerusakan barang bahkan hilang maka menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun. Bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak. Demikian pendapat Ahmad Azhar Basyir.
Sedangkan menurut Syafi’iyah, murtahin menanggung risiko kehilangan atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena menyia-nyiakan.
J. PENYELESAIAN GADAI
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”.
Apabila pada waktu pembayaran (jatuh tempo) rahin belum membayar utangnya, murtahin mempunyai hak untuk menjual marhun. Pembelinya boleh murtahin sendiri atau pihak ketiga tapi dengan harga yang umum berlaku di masyarakat. Hak murtahin adalah sebesar piutangnya.
Ada dua kemungkinan pada waktu pembayaran utang :
1. Harga marhun lebih kecil daripada utang rahin sehingga pihak murtahin dirugikan, maka rahin harus menambah kekurangannya
2. Harga marhun lebih besar daripada utang rahin sehingga pihak rahin yang dirugikan, maka murtahin harus mengembalikan kelebihannya kepada rahin
K. RIBA & GADAI
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Riba akan terjadi dalam gadai apabila ditentukan syarat bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku riba.
L. AKAD RAHN BERAKHIR
Rahn dianggap berakhir dengan beberapa kondisi sebagai berikut :
1. Borg diserahkan kepada pemiliknya
Jumhur ulama selain Syafi’iyah memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan borg kepada rahin sebab borg merupakan jaminan utang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu, dianggap berakhir rahn jika murtahin meminjamkan borg kepada rahn atau kepada orang lain atas seizin rahn.
2. Dipaksa menjual borg
Rahn berakhir jika qadhi (hakim) memaksa rahin untuk menjual borg atau qadhi menjualnya jika rahin menolak.
3. Rahin melunasi semua utang
4. Pembebasan utang
Pembebasan utang menandakan berakhirnya rahn meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.
5. Pembatalan rahn dari pihak murtahin
Rahn dianggap berakhir jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya, rahn dianggap tidak berakhir jika rahin membatalkannya.
Menurut ulama Hanafiyah, murtahin diharuskan untuk mengatakan pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahn tidak terjadi kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak memegang.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahn dianggap batal jika murtahin menyerahkan borg pada rahin (sampai dijual).
6. Rahin meninggal
Menurut ulama Malikiyah, rahn berakhir jika rahin wafat sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin wafat sebelum mengembalikan borg kepada rahin.
7. Borg rusak
8. Tasharruf dan borg
Rahn berakhir apabila borg di-tasharruf-kan seperti dijadikan hadiah (hibah), sedekah dan lain-lain atas seizin rahin.
M. PERSELISIHAN RAHIN & MURTAHIN DI MAHKAMAH
Pembahasan ini berkaitan dengan kekuasaan qadhi dalam memutuskan perkara di mahkamah berkenaan dengan apakah yang dibenarkan rahin atau murtahin.
1. Perbedaan dalam jumlah utang
Apabila terjadi pertentangan antara rahin dan murtahin tentang jumlah utang, menurut jumhur ulama, pendapat yang diterima adalah ucapan rahin dengan sumpahnya sebab rahin yang tergugat.
Dalam salah satu hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra dinyatakan bahwa tergugat dianggap benar dengan sumpahnya.
2. Perbedaan penyebab kerusakan pada borg
Jika murtahin dan rahin berbeda pendapat tentang penyebab kerusakan borg, pendapat yang diterima adalah ucapan murtahin sebab ia yang telah menjaganya. (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2/275)
3. Perbedaan dalam pemegangan (penyerahan) borg
Jika murtahin dan rahin berbeda pendapat tentang pemegangan borg, yang diterima adalah ucapan rahin dengan sumpahnya sebab ia merupakan penentu kelaziman rahn.
4. Perbedaan tentang waktu borg rusak
Jika keduanya berbeda pendapat tentang waktu kerusakan yang terjadi pada borg, yang diterima adalah ucapan murtahin.
5. Perbedaan jenis borg
Menurut ulama Hanafiyah, jika murtahin dan rahin berbeda pendapat tentang jenis borg, yang diterima adalah ucapan murtahin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar