A. PENGERTIAN
Al-Wakalah atau al-wikalah adalah perwakilan.
1. Menurut bahasa
Menurut bahasa, artinya al-hifdz, al-kifayah, al-dhaman dan al-tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat)
2. Menurut syara’
Al-Wakalah menurut syara’, para ulama berbeda pendapat antara lain :
a. Malikiyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu”.
b. Hanafiyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan)”. (Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, hal. 167)
c. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Suatu ibarah seorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”.
d. Hanabilah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Permintaan ganti seseorang yang membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak lain, yang di dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia”. (Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, hal. 168)
Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa al-wakalah adalah “penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup”.
B. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini”. (Q.S. Al Kahfi 18 : 19)
Allah Swt berfirman, “maka kirimlah seorang hakam (utusan) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 35)
2. As-Sunnah
Dari Jabir ra ia berkata, “Aku keluar pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah Saw maka beliau Saw bersabda, “Bila engkau datang pada wakilku di Khaibar maka ambillah darinya 15 wasaq”.” (HR Abu Dawud)
Dari Jabir ra bahwa Nabi Saw menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali ra disuruh menyembelih binatang kurban yang belum disembelih”. (HR Muslim)
Sesungguhnya Nabi Saw mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang lagi dari kaum Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah ra.
C. RUKUN
Rukun al-wakalah :
1. Orang yang mewakilkan
2. Wakil (orang yang mewakili)
3. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
4. Shighat (lafaz mewakilkan)
D. SYARAT
Syarat al-Wakalah :
1. Orang yang mewakilkan
- Sebagai pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukan pemilik maka al-wakalah tersebut batal
- Mumayyiz yaitu sudah bisa membedakan baik dan buruk boleh mewakilkan tindakan yang bermanfaat mahdhah seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah dan wasiat. Jika tindakan itu termasuk dharar mahdhah (berbahaya) seperti talak, memberikan sedekah, menghibahkan dan mewasiatkan maka tindakan tersebut batal.
2. Wakil (orang yang mewakili)
- Orang yang berakal. Orang yang idiot, gila atau belum dewasa maka perwakilannya batal
- Menurut Hanafiyah, anak yang sudah mumayyiz sah untuk menjadi wakil, alasannya adalah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah Saw. Saat itu Amar masih anak kecil yang belum baligh. (Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hal. 60)
3. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
- Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya maka tidak lah sah mewakilkan untuk mengerjakan shalat, shaum, membaca Al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa diwakilkan
- Dimiliki oleh yang berwakil itu maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli
- Diketahui dengan jelas. Maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar seperti seseorang berkata, “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk menikahkan salah seorang anakku”.
4. Shighat (lafaz mewakilkan)
Shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhaannya untuk mewakilkan dan wakil menerimanya. (Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, hal. 111-112)
5. MEWAKILKAN untuk BERJUAL BELI
Ada 2 jenis :
a. Tanpa ikatan
Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa ada ikatan harga tertentu, pembayaran tunai atau diangsur, di kampung atau di kota maka wakil (yang mewakili) tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja. Dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya sehingga dapat dihindari ghubun (kecurangan) kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan.
Pengertian mewakilkan secara mutlak bukan berarti seorang wakil dapat bertindak semena-mena tetapi maknanya ia berbuat untuk melakukan jual beli yang dikenal di kalangan para pedagang dan untuk hal yang lebih berguna bagi yang mewakilkan.
Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Kontan atau berangsur-angsur, seimbang dengan harga kebiasaan maupun tidak, baik kemungkinan adanya kecurangan maupun tidak. Inilah pengertian mutlak menurut Imam Abu Hanifah.
b. Dengan ikatan
Jika perwakilan bersifat terikat, wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah ditentukan oleh orang yang mewakilkan. Ia tidak boleh menyalahinya kecuali kepada yang lebih buat orang yang mewakilkan.
BIla dalam persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual dengan harga 10 dirham kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi misalnya 15 dirham atau dalam akad ditentukan bahwa barang itu boleh dijual dengan angsuran, kemudian barang tersebut dijual secara tunai maka penjualan ini sah menurut pandangan Abu Hanifah.
Bila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut batil menurut pandangan madzhab Syafi’i. Menurut Hanafi tindakan itu tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan. Jika yang mewakilkan membolehkannya, maka menjadi sah, bila tidak meridhainya maka menjadi batal.
Imam Malik berpendapat bahwa wakil mempunyai hak (boleh) membeli benda-benda yang diwakilkan kepadanya, misal Andi mewakilkan Hisyam untuk menjual seekor kambing, maka Hisyam boleh membeli kambing tersebut meskipun dia telah menjadi wakil dari penjual.
Sementara itu menurut Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang paling jelas, wakil itu tidak boleh menjadi pembeli sebab menjadi tabiat manusia bahwa wakil tersebut ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya dengan harga yang lebih murah. Sedangkan tujuan orang yang memberi kuasa (mewakilkan) bersungguh untuk mendapat tambahan.
6. WAKALAH BERAKHIR
Akad al-wakalah akan berakhir bila ada hal-hal sbb :
a. Wafatnya salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat sah akad adalah orang yang berakad masih hidup
b. BIla salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad, salah satunya orang yang berakad mempunyai akal
c. Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti, dalam keadaan seperti ini al-wakalah tidak berfungsi lagi
d. Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil meskipun wakil belum mengetahui (pendapat Syafi’i dan Hambali). Menurut madzhab Hanafi, wakil wajib mengetahui putusan yang mewakilkan. Sebelum ia mengetahui hal itu, tindakannya itu tak ubah seperti sebelum diputuskan, untuk segala hukumnya
e. Wakil memutuskan sendiri, menurut madzhab Hanafi tidak perlu orang yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
f. Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar