Sabtu, 02 Oktober 2010

Bab 14 Mahjur (Terhalang)


A. PENGERTIAN

Mahjur berasal dari al-hajr, hujranan atau hajara

1. Menurut bahasa

Secara bahasa mahjur adalah al-man’u yaitu terlarang, terdinding, tercegah atau terhalang.

2. Menurut syara’

a. Menurut Muhammad as-Syarbini al-Khatib bahwa mahjur ialah al-man’u minat tasharru faatil maaliyyati (cegahan untuk pengelolaan harta). (Muhammad as-Syarbini al-Khatib, al-Iqna fi Hall al-Fadz Abi Syuja’, hal. 26)

b. Menurut Idris Ahmad dalam bukunya fiqh al-Syafi’iyah bahwa mahjur adalah orang yang terlarang mengendalikan harta bendanya disebabkan oleh beberapa hal yang terdapat pada dirinya, yang mengeluarkan pengawasan.

c. Menurut Sulaiman Rasyid bahwa mahjur (al-Hajr) ialah melarang atau menahan seseorang dari dari membelanjakan hartanya, yang berhak melarangnya ialah wali atau hakim (qadhi).

Dari ta’rif di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan mahjur ialah cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.

B. DASAR HUKUM

1. Al-Qur’an

Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 5)

[268]. Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.

Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa Allah Swt melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasharruf (penggunaan) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.

Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lain. Dari pengertian ini disimpulkan bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijr (tidak boleh men-tasharruf hartanya).

Mereka yang dihijr ini ada beberapa macam : adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam muamalah). Adakalanya hijr disebabkan karena penyakit gila. Adakalanya karena buruk dalam ber-tasharruf mengingat akalnya kurang sempurna atau din-nya kurang.

Adakalanya karena pailit (taflis) ialah bila utang seseorang yang menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim (qadhi) agar meng-hijr-nya maka ia terkena hijr (tidak boleh men-tasharruf hartanya).

Allah Swt berfirman, “Jika yang berkepentingan itu bodoh, lemah atau tidak mampu mengatur kepentingannya maka hendaklah diatur oleh walinya dengan adil”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)

2. As-Sunnah

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Nabi Saw menahan harta Muadz dan beliau jual harta itu untuk membayar utangnya”.

Dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah Saw menetapkan Muadz bin Jabal sebagai orang yang terlilit hutang dan tidak mampu melunasinya (taflis/pailit). Kemudian Rasulullah Saw melunasi hutang Muadz bin Jabal dengan sisa hartanya. Tapi orang yang berpiutang tidak menerima seluruh pinjamannya maka dia pun melakukan protes kepada Rasulullah Saw.

Kemudian Rasulullah Saw berkata, “Tidak ada yang dapat diberikan kepada kamu selain itu”. (HR Daruquthni & Al-Hakim)

Berdasarkan hadits tersebut, ulama fiqih telah sepakat menyatakan bahwa seorang hakim berhak menetapkan seseorang pailit karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Dengan demikian secara hukum terhadap sisa hartanya dan dengan sisa hartanya itu hutang itu harus dilunasi.

C. TUJUAN MAHJUR

Tujuan mahjur adalah : (Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam)

1. Mahjur dilakukan guna menjaga hak-hak orang lain seperti pencegahan terhadap :

a. Orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya, orang ini dilarang mengelola harta guna menjaga hak-hak yang berpiutang.

b. Orang yang sakit parah, dilarang berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga hak-hak ahli warisnya.

c. Orang yang merungguhkan dilarang membelanjakan harta harta yang dirungguhkan.

d. Murtad (orang yang keluar dari Islam) dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga hak muslimin.

2. Mahjur dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang dimahjur itu sendiri, seperti :

a. Anak kecil dilarang membelanjakan hartanya hingga beranjak dewasa dan sudah pandai mengelola dan mengendalikan harta.

b. Orang gila dilarang mengelola hartanya sebelum dia sembuh, hal ini dilakukan juga untuk menjaga hak-haknya sendiri.

c. Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sebelum dia sadar, hal ini juga untuk menjaga hak terhadap hartanya ketika ia membutuhkan pembelanjaannya.

D. SEBAB-SEBAB MAHJUR

Mahjur dapat dilakukan bagi orang-orang tertentu. Sebab-sebab seseorang dicegah untuk mengelola hartanya sendiri adalah sebagai berikut :

1. Di bawah umur

Maksudnya adalah anak yang belum baligh atau belum mukallaf, baik karena akalnya belum matang atau karena yang lainnya. Ia harus diawasi dan dijaga oleh walinya, tidak boleh diserahkan sebelum ia baligh berakal karena dikhawatirkan hartanya akan disia-siakan.

2. Safih (bodoh)

Artinya kurang akal, mungkin karena masih kecil, bebal, dungu atau karena umurnya sudah tua.

Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[1]”. (Q.S. An-Nisaa 4 : 5)

[1]. Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.

3. Lemah jasmani dan rohani

Orang yang lemah jasmani dan rohani dengan sendirinya tidak akan sanggup mengurus harta kekayaan jika ia memiliki harta.

Allah Swt berfirman, “Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)

Pada ayat di atas dijelaskan orang bodoh, orang lemah atau orang yang tidak sanggup menuliskan tanggungannya. Yang termasuk orang yang tidak mampu menuliskan bebannya adalah orang gila karena dia tidak sanggup mengendalikan hak dan kewajibannya.

4. Hamba (budak)

Seorang yang menjadi budak tidak lagi berkuasa untuk mengurus harta sebab ia sendiri dimiliki oleh tuannya dan berarti derajat hamba (budak) sama dengan derajat harta benda. Dia dapat dijual atau dibeli sebagaimana harta sehingga dia tidak berkuasa apa-apa.

Allah Swt berfirman, “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun”. (Q.S. An-Nahl 16 : 75)

5. Sakit keras

Sesungguhnya orang yang sedang sakit keras (orang yang diduga keras tidak akan sembuh dari sakitnya) tidak berdaya lagi untuk berbuat apa-apa. Bila dia memiliki harta, harta tersebut berada di bawah kekuasaan para ahli warisnya. Di dalam Al-Qur’an diperintahkan bagi orang yang sedang mendekati ajal untuk berwasiat.

Allah Swt berfirman, “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al Baqarah 2 : 180)

[112]. Ma'ruf ialah adil dan baik. Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. Ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

Sesungguhnya wasiat hanya boleh untuk karib kerabat. Para ahli waris tidak boleh menerima wasiat sebab tanpa wasiat pun mereka tetap akan memperoleh harta peninggalan.

6. Sedang digadai

Orang yang barangnya sedang digadaikan tidak berkuasa atas barang-barangnya itu, sebab benda-benda itu merupakan jaminan atau borg di atas utangnya yang diambil dari orang lain. Benda-benda yang sedang digadaikan berada di bawah penguasaan orang yang mengutangkan kepadanya.

Allah Swt berfirman, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180]”. (Q.S. Al Baqarah 2 : 283)

[180]. Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

Dalam ayat di atas dengan jelas disebutkan bahwa benda-benda yang dijadikan jaminan atau gadaian adalah hak yang mengutangkan sebelum utang itu dibayar oleh yang berutang.

7. Wanita bersuami

Seorang wanita yang mempunyai suami, berada di bawah pengawasan suaminya, baik diri sendiri, anak-anaknya maupun harta bendanya. Oleh karena itu wanita tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya kecuali harta-harta yang dikhususkan untuknya sendiri.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ashab al-Sunan dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Wanita tidak boleh memberikan sesuatu kecuali atas izin suaminya”.

Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Saw bersabda, “Tidak boleh wanita mengurus masalah hartanya bila suaminya telah memiliki tanggung jawab”.

8. Murtad

Orang yang keluar dari Islam atau yang disebut juga dengan murtad (riddah) terhalang menguasai hartanya sebab dia sendiri berada dalam kekuasaan imarah Islam. Dia tidak berkuasa atas hartanya karena dia akan menerima hukuman menurut syariat Islam yaitu hukuman mati atas kesalahan yang dibuatnya yaitu menanggalkan keimanan kepada Allah Swt.

Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang telah menukar agamanya maka bunuhlah dia”. (HR Bukhari)

9. Muflis (jatuh bangkrut)

Muflis adalah orang yang jumlah utangnya lebih besar daripada jumlah hartanya. Dengan demikian semua hartanya berada di bawah pengawasan orang-orang yang memberikan utang kepadanya (piutang).

Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang mendapati hartanya yang asli (belum berubah) pada orang yang bangkrut maka dia lebih berhak atas barang itu daripada yang lainnya”. (HR BUkhari & Muslim)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa yang paling berhak untuk menyita harta yang ada pada orang bangkrut adalah yang mengutangkan. Untuk lebih jelasnya dapat diambil sebuah contoh : Ahmad utang satu stel meja dari Amir. Dan Ahmad meminjam uang 1 dinar ke Jamil.

Di kemudian hari Ahmad jatuh bangkrut. Ketika itu Ahmad ditagih oleh Amir dan Jamil tetapi dia (Ahmad) tidak punya uang untuk membayarnya, sementara 1 stel meja masih ada pada Ahmad. Maka yang lebih berhak menyita 1 stel meja itu adalah Amir daripada Jamil.

E. CEKAL AL-HAJR

Ulama fikih berpendapat bahwa di samping orang-orang yang telah disebutkan di atas yang dikenakan status hukum di bawah pengampunan maka dapat juga dikenakan hukum di bawah pengampunan (cekal) bagi orang-orang yang mengganggu dan merugikan umat :

1. Tabib yang tidak memenuhi rujukan baku dalam memberikan obat dan diagnotis yang keliru terhadap pasien

2. Mufti yang sering mengeluarkan fatwa yang menyesatkan dan membingungkan umat

3. Arsitek bangunan yang sering meleset dalam membuat perencanaan dan perhitungan

4. Para amir yang menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat

Menurut madzhab Hanafi penentuan penetapan status pengampunan ini harus berdasarkan penetapan hakim. Namun status pengampunan terhadap mereka ini tidak bersifat permanen bergantung kepada kesadaran orang yang bersangkutan, cepat berubah atau tidak.

F. STATUS PENGAMPUNAN BERAKHIR

Status pengampunan (al-hajr) berakhir apabila :

1. Anak kecil sudah baligh & berakal

2. Orang bodoh/dungu sudah menjadi cerdas/sadar

3. Pemboros sudah mulai hemat

4. Orang gila sudah menjadi waras

5. Orang yang sakit kritis sudah sembuh kembali

6. Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hukum pengampunan setelah dia lunasi hutang-hutangnya

Hendaknya diingat bahwa apabila al-Hajr (pengampunan) ditentukan berdasarkan penetapan qadhi (hakim) maka pencabutannya juga harus demikian supaya mempunyai kekuatan hukum . Apabila pengampunan itu berada di bawah kekuasaan wali maka wali-lah yang dapat mempertimbangkannya.

Selanjutnya mengenai pencekalan yang disebutkan di atas seperti dokter dan seterusnya, pencabutannya juga harus berdasarkan penetapan dari qadhi dengan berbagai pertimbangan yang tentu saja tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar